"Tanpa aku sadari hati ini ikut ambil peran sendiri tanpa izin, tanpa permisi. Hingga aku harus menahannya sendiri."
¤¤¤¤¤
Seorang perempuan berjalan dengan riang, sesekali melempar senyum menyapa beberapa orang yang dikenalnya. Di tangannya terdapat sebuah paper bag yang entah apa isinya. Perempuan yang tak lain Nafisa itu segera masuk ke dalam ruangan Azka.
Benar bukan dugaannya, dokter pembimbingnya itu sudah lebih dulu tiba, entah kapan datangnya yang pasti Azka akan selalu lebih cepat dari Nafisa. Padahal jam praktiknya masih lama. Kadang Nafisa sungkan sendiri, ia yang asisten tapi datang lebih telat. Walau Azka tidak pernah mempermasalahkannya. Kecuali kemarin, itu memang ia yang lalai.
"Pagi, Dokter Azka," sapa Nafisa ramah. Senyum manis secerah matahari itu nampak cantik di pandang. Andai Azka mau memandangnya. Sayangnya laki-laki itu lebih memilih menatap entah dokumen apa di tangannya.
"Hmm," jawab Azka cuek.
"Ini saya punya sesuatu buat Dokter Azka." Nafisa mengangsurkan paper bag yang sedari tadi dibawanya ke hadapan Azka. Masih dengan senyum andalannya.
Azka mengangkat satu alisnya, menatap Nafisa seakan bertanya, apa itu?
"Ini makanan buat Dokter, saya buat khusus untuk Dokter Azka, saya masak sendiri loh," ucap Nafisa bangga.
"Kenapa?" tanya Azka pendek.
"Apanya?" Nafisa bertanya balik. Tidak paham maksudnya.
"Kenapa kamu kasih ke saya?"
"Sebenernya ini sebagai permintaan maaf saya sih, Dok. Soalnya beberapa hari ini saya bikin Dokter marah terus," terang Nafisa menjelaskan maksudnya.
Azka menatap penuh curiga Nafisa seakan tak percaya.
"Kamu gak kasih apa-apa kan di dalamnya? Atau jangan-jangan kamu kasih racun, ya?" tanya Azka menuduh, matanya memicing tajam.
"Astagfirullah, Dok. Saya gak setega itu buat bunuh Dokter, lagian nanti yang akan membimbing saya siapa kalo Dokter gak ada. Dokter tega banget nuduh saya," ucap Nafisa mendramatisir.
"Yah, siapa tahu kamu dendam gara-gara saya marahin kamu terus. Atau ini sogokan biar saya gak marah dan mau memberi kamu nilai bagus?"
"Saya gak gitu loh, Dok. Saya cuma gak pengen aja Dokter sakit gara-gara kerja terus."
Azka melirik tajam Nafisa, apa maksud perempuan ini? Sok perhatian sekali!
"Udah sih, Dok. Diterima aja, pokoknya ini gak saya kasih macem-macem, rasanya udah pasti enak," ucap Nafisa final.
Azka mengambil paper bag itu, meletakkannya di bawah mejanya. Lalu kembali menekuni berkas di tangannya.
"Sudah saya terima, kan? Mau apalagi, udah sana kamu siapkan peralatannya," perintah Azka tanpa menatap Nafisa. Seakan apa yang dilakukan Nafisa tadi bukan hal penting.
Nafisa menatap Azka tak percaya, tak ada ucapan terima kasih atau apa gitu?
Benar-benar diluar dugaan Nafisa, padahal ia sengaja membawanya agar Azka sedikit tersentuh tapi dasarnya cuek akan tetap begitu.
"Dasar manusia es batu, bilang makasih aja enggak. Harusnya tadi aku beneran kasih obat, biar mules mules dia," gerutu Nafisa bersungut-sungut dalam hati. Bibirnya mencebik kesal.
¤¤¤¤¤
Nafisa tengah melipat mukenanya saat pikirannya berkelana memikirkan Azka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Doctor (Complete) [Tahap Revisi]
EspiritualTahap Revisi (Saat author inget🙂) ¤¤¤ Saat sebuah keyakinan dan ketakwaan teruji karena kehilangan seseorang yang sangat kamu sayang, akankah kamu kembali memegang teguh keyakinan itu? Saat berulang kali kamu memohon dan meminta tapi ternyata tak d...