Sebal. Aku sangat sebal karena harus mengantar pesanan Pak Jo di Puncak. Mana hari Sabtu, macet lagi! Kenapa sih Pak Jo nggak pesan di daerah puncak atau di Bogor sekalian, toh dekat situ kan banyak rumah makan. Batal deh acara chating semalam suntuk yang jadi kebiasaanku menghabiskan malam minggu.
Sebenarnya bukan kebiasaan. Aku hanya berharap kalau-kalau di antara teman chat ada yang ngajak nginap di rumahnya atau di kosnya. Sebagai selingan kesendirian di rumah boleh juga kan? Tapi selama ini itu hanya harapan. Tidak ada sosok yang cocok yang aku temukan di berbagai ajang ngobrol lewat internet. Ah mungkin belum jodoh.
Sore itu dengan mengendarai mobil Jeep warisan mendiang Bapak. Aku berangkat sendiri ke Puncak. Makanan akan digunakan jam 7 atau 8 malam. Tapi awal-awal aku harus sudah di sana, selain memperhitungkan macet juga memikirkan siapa tahu ada temanku yang mengajakku menginap di sana. Malam minggu memang biasanya aku gunakan untuk menghibur diri setelah 5 hari sibuk dengan bahan-bahan skripsi, buku berdebu di perpustakaan dan dosen yang sok sulit dihubungi.
Acara Pak Jo adalah acara selamatan pembangunan hotel (hmm aku gak bisa sebutin namanya). Letaknya cukup di puncak melewati beberapa villa milik orang kaya di negeri ini. Sampailah di ujung jalan berbatu dan belum di aspal. Musim kemarau begini debu di situ cukup tebal. Aku harus berhati-hati sekali memilih jalan supaya makananku tidak rusak susunannya. Jalanannya sepi dan memang daerah itu jauh dari rumah penduduk.
"Semua jumlahnya 52 kotak dan 3 kotak bonus. Ini bonnya mohon ditandatangani di sini. Untuk penyelesaian bisa Pak Jo transfer seperti biasa saja." Ku sodorkan nota itu.
Pak Jo menekennya dan memberikan lembar putihnya padaku.
"Kalau Jon nggak ada acara sore ini, ikut kami berpesta di sini. Kalau takut pulang malam tidur saja di villa saya di bawah sana." Pak Jo menawari.
Dengan sesopan mungkin aku menolaknya. Lagian aku kurang kenal dengan Pak Jo. Orangnya baik tinggi besar sekitar, ah ternyata tidak terlalu tua dan sebenarnya kurang pantas dengan sebutan 'Pak'. Ya, dia seumuran dengan aku. Dan tampan juga tampangnya.
Sesudah semua makanan diturunkan dari mobil, dan diserahterimakan dengan yang bertanggung jawab. Aku mulai mengarahkan mobil ke arah aku datang. Tapi aneh mobil terasa berat sekali. Mesin sudah digas sekuat tenaga tapi jalannya tetap lambat. Yah! Ban belakang sebelah kanan bocor, mana aku nggak bawa ban cadangan lagi.
Ku hubungi Pak Jo untuk minta tolong, tapi katanya dia pun tidak ada mobil di villa. Mau urus tambal ban harus turun ke sana, paling tidak 50 sampai 100 ribu bakalan melayang. Akhirnya karena Pak Jo merasa kasihan aku akan ditolong kalau mobilnya sudah datang besok pagi. Ah nginap juga. Habis deh acara chating dan surfing ku!
"Sudahlah Jon! Kita....." Pak Jo menghiburku dengan kata-kata panjang. Aku rasa dia juga senasib denganku terdampar di puncak gunung di hari libur begini. Lama-lama kami merasa akrab juga. Hatiku terasa tentram, entah oleh kata-katanya entah oleh beberapakali rangkulan tangan ke pundak ku. Aku mulai menikmati malam minggu yang lain.
***
Pesta selesainya bangunan utama itu selesai jam 9 malam. Pestanya dilanjutkan dengan acara yang cukup mengagetkanku striptease cowok dan cewek. Aku jadi merasa sangat beruntung karena banku meletus tadi.
Dua pasang penari dengan baju berbulu-bulu norak, yang pria memakai seragam pelaut seperti Popeye. Mereka menari meliuk-liuk dari gerakan sopan sampai yang merangsang. Semakin lama gerakan mereka semakin panas saja. Si pria sekarang hanya mengenakan celana pendek putih ketat dan si wanita keduanya berbikini. Tariannya salsa yang menyentuh-sentuhkan alat vital ke pasangannya. Terkadang mereka bertukar pasangan. Terkadang pria dengan pria dan wanita dengan wanita. Rupanya mereka mencoba membangkitkan gairah semua orientasi seks.