Sudah satu minggu aku tak merespon pesan atau telpon dari Adlan. Aku masih ingin memulihkan hatiku setelah di hancurkannya, lagi. Sebenarnya bisa saja aku bersikap biasa tetapi aku selalu merasa marah jika aku akan menjawab pesannya. Aku bukan type yang selalu mengungkapkan isi hatiku saat senang atau marah atau sedih atau kecewa tetapi aku selalu memilih untuk diam seakan-akan tidak terjadi apapun.
Malam ini aku masih asyik dengan anime yang sedang menemaniku. Jika aku sudah bersama anime, tidak ada yang boleh menggangguku. Aku akan marah jika ada yang menggangguku. Sama halnya seperti saat ini, Bimaa yang tiba-tiba masuk kedalam kamarku dengan tablet ditangannya. Ia merebahkan dirinya disampingku, Bimaa menempatkan kepalanya diatas pahaku.
"Kak..."
"Apa sih, ganggu aja lo." Kesalku setelah menghentikan animeku.
"Enggak apa-apa. Mau deket sama lo aja."
"Enggak jelas lo." Sahutku sambil mengangkat kepalanya dari atas pahaku, diganti dengan bantal yang baru saja aku ambil.
"Lo lagi marah ya?"
"Enggak."
"Keliatan kok lo lagi marah, soalnya diem terus."
"Jangan sok tau jadi anak kecil."
"Ba---"
Cklekk...
Aku dan Bimaa menoleh kearah pintu kamarku yang baru saja dibuka Baba. Bimaa pun bangkit dan menempatkan dirinya duduk didekatku. Aku dan Bimaa terlihat bingung menatap Baba yang juga sedang menatap bingung kearahku dan Bimaa.
"Kenapa?" Tanyaku bingung.
"Kalian ngapain?" Tanya Baba sambil bersandar pada tiang pintu dengan tangan dilipat didepan dadanya.
"Bimaa ganggu aku nonton." Kesalku.
"Enggak, Ba. Emang kakak aja yang emosian." Bela Bimaa.
"Enggak usah berantem." Lerai Baba. "Siap-siap, kita ke rumah Oma jemput Bia."
"Aku enggak ikut, Baba sama Bima aja."
"Siap-siap! Kamu tau bahasa indonesia kan, Nak?"
"Ba---"
"Baba tunggu di mobil. Lima menit!"
Baba betulan pergi meninggalkan kamarku dengan wajah datarnya. Aku berdecak kesal dengan perintah Baba yang selalu tak ingin di tolak atau di bantah. Apa Baba tidak mengerti kalau aku masih ingin menonton anime. Bimaa turun dari kasurku lalu pergi meninggalkan kamarku tanpa meninggalkan kata.
"Semua ini gara-gara lo anak kecil!"
Bimaa menoleh dengan kerutan di dahinya. "Kok gue? Kan gue enggak ngapa-ngapain, Kak."
"Pergi lo!"
"Ini gue mau pergi!"
Laptop aku matikan dan terpaksa harus meninggalkan kasur juga. Aku pun menyusul Baba dan Bimaa yang mungkin sudah menungguku. Aku hanya mengambil jaket saja di tiang jaketku.
Aku masuk kedalam mobil, duduk di bagian belakang sendiri karena Bimaa duduk di depan bersama Baba. Baba melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang. Pandanganku mengarah pada jalanan yang masih cukup ramai oleh pengendara roda dua atau roda empat.
"Kenapa kita harus ikut sih, Ba? Kan Baba bisa jemput Bia sendiri dari kantor."
Baba melirikku dari kaca. "Kamu enggak seneng banget jemput Ibu mu sendiri."
KAMU SEDANG MEMBACA
Tinggal Kenangan
Teen FictionIni kisahku di 10tahun lalu, semasa aku masih menjadi remaja labil. Tentang cinta pertama yang tidak pernah aku rasakan sebelumnya. Sebelum mengenalmu--- Aku pernah patah hati, tetapi tidak pernah sesakit karenamu. Aku pernah bahagia, tetapi aku ing...