Tragedi di Lapangan Basket

63 6 1
                                    

Ervan membagikan lembaran hasil ulangan Matematika ke setiap anak di kelas. Aira tidak tahu berapa buruk nilainya kali ini. Sebelumnya, ia tidak pernah seragu itu ketika menjawab soal ulangan. Apalagi dari lima soal, yang ia yakin bisa hanya satu. Matanya awas memandangi Ervan yang kini tinggal memegang selembar kertas dan itu pasti miliknya. Laki-laki itu menghela napas sebentar, lantas meletakkan kertas ulangan Aira di meja yang menampakkan coretan-coretan tajam dengan pulpen berwarna merah sebagai tanda banyaknya kesalahan yang Aira tuliskan. Ervan duduk di sebelahnya.

"Mepet terus lo, Van. Udah bosen sama yang itu ya?" celetuk Asep yang baru saja hendak keluar dari kelas. Mulutnya benar-benar butuh disumpal sambal Bu Ninik rupanya, batin Aira kesal.

"Apa udah dapet, ya, Van? Makanya sekarang mau nyari target lain?" Dio menimpali.

Kenapa, sih, dua anak itu tidak bisa seperti teman-teman lainnya saja? Berpura-pura tidak peduli meskipun diam-diam mendengarkan pembicaraannya dengan Ervan terdengar lebih baik bagi Aira.

Seperti biasa, Ervan hanya tertawa pelan, lalu melempar keduanya dengan penghapus Aira yang tergeletak di meja. "Sialan lo," gumamnya. Kedua anak itu langsung terbirit-birit keluar kelas sambil masih cekikikan.

"Penghapus gue."

Si tersangka pelempar penghapus menoleh sekilas, buru-buru mengambil penghapus yang kini berada di dekat pintu. Ia menggaruk tengkuk, mungkin salah tingkah karena merasa bersalah.

"Lo kenapa, Aira?"

Kalimat ledekan Asep dan Dio masih berlarian di otaknya. Juga dengan Ervan, yang baru ia sadari kalau laki-laki itu selalu memanggil namanya dengan lengkap. Membuatnya semakin risih untuk berdekatan dengan laki-laki itu. Ia melipat kertas ulangannya yang nilainya tidak mencapai angka tujuh. Tidak mungkin, kan, Ervan menyukainya seperti yang Asep dan Dio isyaratkan barusan?

"Besok ulangan Fisika," ujar Ervan, tampak tidak terganggu karena Aira tidak menjawab pertanyaannya barusan.

"Lo nggak laper? Kantin, yuk? Laper nih." Usaha kedua.

Aira kembali mengacuhkannya. Ia bahkan tidak sedikitpun menoleh untuk melihat ekspresi Ervan sekarang.

"Gue sama sekali nggak bermaksud un—"

"Aira!" panggilan itu memotong kalimat Ervan. Membungkam entah apapun yang akan dia katakan sedangkan Aira justru diam-diam mengembangkan senyumnya.

"Karin mana?"

Bisa dirasakannya Ervan melirik dengan ekor matanya, menyaksikan sinar mata Aira yang tanpa sadar perlahan meredup, seperti biasa. Tapi senyumnya ia pertahankan untuk tetap mengembang. "Udah ke kantin," sahutnya jujur.

Andra yang kini berdiri di ambang pintu, tampaknya baru menyadari keberadaan Ervan di sebelah Aira. Ia menyipitkan mata, memandang keduanya bergantian. "Wah, wah, wah, kalian ada ap—"

"Nggak ada apa-apa. Kebetulan gue duduknya sama Ervan," tukas Aira cepat.

Laki-laki itu tertawa lepas, lalu mendekat. "Telat lagi, hm?" ujar Andra sambil pura-pura mengetukkan kepalan tangan ke dahi Aira, membuatnya mati-matian menahan senyumnya.

"Kantin, yuk, Van, Ra?" ajak Andra. Andra memang cukup mengenal Ervan dengan baik karena di sekolah ini, teman-teman yang satu ekstrakurikuler justru kadang lebih akrab disbanding teman sekelas karena faktor kecocokkan di kegiatan luar sekolah. Ervan belum sempat merespons apa-apa, ketika Aira mengangguk cepat dan beranjak berdiri. Ia sudah melangkah, tetapi ketika disadari Andra masih bergeming, Aira kembali dan mencolek lengan laki-laki itu.

"Ayo, Van?" ajak Andra sekali lagi.

Ervan mengedikkan bahu sekilas, lalu menyandarkan punggungnya ke kursi. "Nggak laper."

Sketsa Abu-AbuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang