LIMA

23 5 0
                                    

Mati yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti sudah hilang nyawa; tidak hidup lagi.

Mati, satu kata yang barangkali menjadi momok paling menakutkan bagi sebagian besar manusia.

Mati. Tamu yang paling tidak tahu diri. Datang tanpa permisi. Tak peduli siap atau tidaknya kita menerimanya.

Mati?

Untuk saat ini Kirana membenci kata itu.

Menghapus air mata yang tadi sempat menetes, ia tegakkan bahu. Berjalan menuju kelas guna mengambil perlengkapan sekolah untuk segera ia bawa pulang.

Telepon dari nomor asing yang juga memberikannya kabar yang tak mungkin terjadi. Menggeleng-gelengkan kepalanya, Kirana mencoba berpikiran positif. Barang kali tadi adalah telepon dari orang yang berniat melakukan penipuan. Tapi, mana mungkin si penelpon mengetahui nama Bapaknya?

"Dengan anaknya Bapak Suhardi Poedjarana?"

"Iya. Kenapa ya pak?"

"Bapak Suhardi mengalami kecelakaan dan meninggal dalam perjalanan menuju rumah sakit. Namun, saat ini jenazah telah dibawa pulang." Jelas si penelpon yang mampu menghentikan denyut nadi Kirana.

Kirana tahu bahwa kematian pasti menghampiri setiap manusia. Yang ia tidak tahu adalah mengapa Tuhan mengambil Bapak secepat ini? Di saat ia membutuhkan semangat dari bapak untuknya meraih mimpi.

Melangkah lunglai dengan tas yang ia cangklong sebelah, setelah berpamitan dengan guru ia langsung pulang.

Menghentikan laju angkot untuk ia naiki dan menghantarkan gang depan rumahnya.
Duduk dengan tatapan kosong, pikirannya melayang mengulik kembali memori lama tentang ia dan bapak.

Saat ia masih berusia 5 tahun, bapak pulang dari bekerja dengan membawa sepeda bekas sebagai hadiah ulang tahunnya. Yang ia sambut dengan jingkrak-jingkrak serta tawa yang membahana. Memeluk sang bapak serta mencium kedua pipi bapak.

"Kiran sayang sama bapak." Ucapnya kala itu sembari menduselkan kepala pada ceruk leher bapak.

Saat berusia 10 tahun, dan ia menangis karena suara yang ia keluarkan seperti seng yang dipukulkan dalam menyanyi lagu yang harus dihapalkan. Bapak memberinya semangat berkata bahwa suaranya akan bagus jika ia menyanyi dengan hati.

Juga saat ia menginjak usia 18 tahun, bapak membangunkannya tengah malam dengan sebatang lilin putih dan 4 buah donat dengan toping warna warni. Bertiga merayakan ulang tahunnya.

Kirana tergugu begitu mengingat kenangan manis yang telah ia dan bapak lakukan. Lalu, bagaimana mungkin bapak bisa pergi secepat ini meninggalkannya dan Kano? Tak tahukah bapak bahwa Kiran belum siap untuk berjuang di dunia yang kejam ini?
Lalu bagaimana dengan Kano? Bagaimana bisa Kano akan tumbuh tanpa sosok pahlawan super seperti bapaknya?

Kirana semakin tergugu hingga menimbulkan kerutan kening pada penumpang yang lain.

***

Kediamannya ramai.

Jadi benar bapak pergi?

Ninggalin aku sama Kano? Sendirian? Tanpa pamitan?

Berlari masuk ke rumah Kirana dapati jenazah ayahnya yang telah terbujur kaku, dengan diselimuti jarik batik milik ibunya. Di sampingnya Kano yang tengah menangis sambil memeluk jenazah bapak. Juga ibunya yang berusaha menenangkan adiknya.

Menjatuhkan tasnya ia melangkah lunglai menghampiri bapak serta adik dan ibunya. Air matanya sudah ia habiskan di perjalanan menuju ke rumah. Hingga yang tersisa hanya tatapan datarnya.

Kano yang melihat sang kakak langsung menjerit dan menangis dalam pelukan Kirana. Membagi luka yang ia rasakan pada sang kakak, kendati sang kakak juga merasakannya.

"Bapak pergi mbak." Ucapnya sangau disela tangisannya.
Tak peduli pada kemeja putih sang kakak, Kano mengusapkan ingusnya yang sudah tak muat lagi hidungnya tampung. Masa  bodoh dengan kakaknya yang bau keringat.

"Kano gak boleh nangis. Kano itu laki-laki. Pantang bagi laki-laki untuk menangis." Ucap Kirana datar.

Sedang sang ibu hanya menatapnya takjub. Tak menyangkan putrinya bisa setegar ini.

***

Alhamdulillah, setelah melewati mood nulis yang ancur ancuran☹️
Akhirnya up juga...

So sorry kalo gak menyentuh...

See you next chapter..

Salam,

Lintang AksamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang