Bunga terakhir, Camelia.
Chapter II : Malam terakhir di desa.
Sudah menjadi aktifitas rutin jika aku sedang berada di kampung pasti mainnya pada malam hari. Biasanya kita akan berkumpul sekitar jam delapan malam, lalu kita menikmati malam bersama hingga waktu subuh sebelum pulang kembali ke rumah masing-masing.
Jam masih menunjukan pukul tujuh malam ketika aku sudah berpakaian rapi. Aku memutuskan untuk makan terlebih dahulu di kedai mie ayam langgananku sebelum pergi bermain dengan yang lainnya.
Tak sampai dua menit, aku sudah berada di rumah mas Amin, tempat kedai mie ayam berada.
"Mas, mie ayam satu ya." Pesanku kepada mas Amin yang juga tengah sibuk menerima pelanggan lain.
"Makan sini apa bawa pulang?"
"Makan disini aja." Ucapku sembari mencari tempat duduk. Sebenarnya mie ayamnya enak, namun karena tempatnya tidak cukup luas membuat orang-orang yang beli rata-rata lebih memilih untuk dibungkus.
Setelah masuk ke dalam ternyata masih kosong, benar dugaanku walaupun di depan cukup banyak pelanggan, mereka lebih memilih makan di rumah.
"Kamu berangkat ke Jakartanya kapan, Nan?" Tanya mas Amin begitu aku duduk lesehan di dekat televisi.
"Palingan hari sabtu besok mas. Kenapa gitu?"
"Hari minggu kita mau jalan-jalan ke pantai."1 Jelas mas Amin sambil membungkus beberapa mie. Aku yang melihatnya tengah sibuk, mengurungkan niat bertanya lebih jauh mengenai acara ke pantai dan memutuskan untuk menonton tayangan sepak bola.
"Dreet."
Sebuah panggilan dari nomor yang tak dikenal tertera di layar gawai, aku hanya mendiamkannya tanpa keinginan untuk mengangkatnya. Namun nomor tersebut menelponku terus menerus hingga membuatku kesal.
"Halo... Siapa nih? Ganggu aja lagi nonton bola." Ucapku begitu mengangkat panggilan.
"Hehehe, maaf. Ini gue Melia."
Rupanya Camelia yang menelponku.
"Yo, ada apa, Mel?"
"Lagi dimana?"
"Di mie ayam mas Amin."
"Gue kesana sekarang!"
"Eh ngapai......" Belum sempat aku menyelesaikan ucapanku, ia sudah menutup teleponnya.
"Si kampret dimatiin dong telponnya." Gerutuku melihat layar handphone yang tertulis 'Panggilan berakhir'.
Benar saja ketika aku sedang menambahkan saus untuk mie ayamku, seorang wanita cantik datang menepikan motornya di sebelah gerobak mie ayam. Ia melambaikan tangan padaku sekilas sebelum menyapa mas Amin lalu menghampiriku dengan sebuah senyuman yang khas.
"Hai, Nan!" Sapanya kemudian duduk disebelahku.
"Hai, Mel. Mau makan?" Tawarku karena melihatnya melirik semangkuk mie ayam milikku.
"Engga ah, udah makan barusan."
"Gue pesenin ya."
"Udah makan gue, Nan." Camelia terus menolak, namun aku tetaplah aku yang pemaksa. Pada akhirnya aku memesankan juga untuknya. Kini satu porsi mie ayam terhidang di hadapannya dan ia hanya menekukan bibir.
"Udah dimakan dulu." Ucapku mengaduk mie ayam miliknya.
Camelia berdecak, "Ck, gue males makan malem, nanti gendut."
KAMU SEDANG MEMBACA
Bunga terakhir, Camelia
Romance[Based on true story] "Kalo gue boleh milih itu udah pasti lo!" Camelia menyenderkan kepalanya di bahuku. "Andai aja gue belom dilamar sama dia, gue pasti masih menunggu sampai lo siap." Lanjutnya. "Iya gue percaya." Sahutku sembari membelai surai h...