ENAM

26 5 0
                                    

Pemakaman bapak telah dilakukan. Kebaikan yang bapak lakukan selama hidupnya membuat kepergiannya cukup disayangkan. Tetangga serta kenalan bapak datang untuk mengucapkan belasungkawa yang mana Kiran tak tahu mendapat kabar dari mana atas kepergian bapak.
Bapak pergi.

Tapi hidup harus tetap berlanjut.

Mimpi harus tetap dikejar.

Memaksakan diri, ketiganya makan malam dengan nasi putih dan tempe goreng.
Kano menatap ibunya yang makan dengan ogah-ogahan. Mengalihkan pandangan, sang kakak yang hanya mengacak-ngacak nasi di piring. Kano meneguk ludahnya sendiri, kakaknya saat ini begitu terlihat mengerikan. Kernyitan di dahinya serta tatapan tajamnya entah pada apa, seolah ingin sekali meremukkan sesuatu yang berada di dekatnya.

"Apa yang udah ibu lakuin ke bapak?" Kano mengangkat wajahnya, memperhatikan sang kakak yang menatap ibu tajam.

"Apa maksud kamu?" Sang Ibu menjawab. Kano mengedipkan matanya perlahan, memaksa otanya berpikir tapi tak kunjung mengerti apa yang dua orang di depannya ini katakan.

Tak peduli ia lanjutkan memakan makanan yang berada di piringnya.

"Ibu gak usah pura-pura gak ngerti. Buat apa bapak nabrakin dirinya kalo gak ada masalah apa-apa?" Kano mengangkat lagi wajahnya, mulutnya sibuk mengunyah tempe yang entah kenapa kali ini terasa kerasnya. Mengernyit, Kano lagi-lagi tak mengerti alasan kakaknya berucap tenang namun tajam.

"Sebenarnya apa maksud omongan kamu Kiran?" Tanya ibu yang mulai emosi.

Ah, Kano benci berada di antara dua orang yang tengah berdebat. Apalagi pasca kepergian bapak. Kano sedih, sangat.
Namun, Kano harus tetap bertahan, kan? Ia ingin tumbuh besar seperti bapak, dan kemudian bekerja agar bisa membelikan sang kakak beda seperti kakaknya Aldo, temannya. Sehingga, mau tak ma Kano harus makan. Agar ia cepat besar.

Mendengar sang kakak menghela nafas kemudian terkekeh, lagi-lagi Kano mengangkat wajahnya. Memandang sang kakak dengan kernyitan yang lebih dalam. Aduh, kalau Kano terlalu sering mengernyit seperti ini kemungkinan dia akan cepat tua. Seperti bapak.

Ah bapak...

Kano kangen.

Kano pengen makannya disuapin bapak.

"Kiran tanya sekali lagi bu...." Jeda sebentar demi mengambil nafas lebih panjang, "apa yang udah ibu lakuin ke bapak!" Kiran membentak ibunya, membuat Kano terperanjat kaget.

"Apa-apaan kamu Kiran! Berani kamu membentak ibu?!" Ujar ibunya tak kalah keras.

Kirana lagi-lagi terkekeh, "aku? Berani sama ibu? Tentu saja!" Mendengar sahutan Kirana, Ibu melotot tak percaya, "gara-gara ibu bapak pergi ninggalin kita. Aku gak tau apa yang telah terjadi. Tapi aku yakin, bapak pergi karena sesuatu. Sesuatu yang menyakitkan." Tandas Kirana. Ia bangkit dari duduknya, berlalu menuju kamar.

Kano mengerjap, ia masih merasa kaget dengan apa yang telah terjadi.

"Ibu?" Sang ibu menoleh, "maksud mbak Kiran apa?" Tanya Kano polos.

Yang ditanya diam, mendekat kemudian mendekap Kano erat, menciumi pucuk kepalanya.

Menggeleng perlahan, "bukan apa-apa sayang. Kano makan lagi ya?"

Kano mengangguk lemah sebagai jawaban.

***

Kirana menghela nafas berat, sungguh perdebatan dengan ibunya tadi sangat menguras tenaganya. Tergugu mengingat wajah sang bapak yang selalu mampu membuatnya merasa aman. Ia menenggelamkan wajahnya pada kedua lutut yang ia tekuk.

Baru beberapa jam bapak pergi, dan ia sungguh sudah sangat merindukan bapak.

"Bapak. Kirana kangen. Bapak kenapa pergi cepet banget? Bapak apa gak sayang sama aku dan Kano? Aku takut. Aku takut pak." Gumam Kirana disela-sela tangisnya.

Tapi tunggu, ia sudah melarang Kano untuk tak menangis. Lalu kenapa sekarang dirinya yang menangis? Jika lelaki tak boleh menangis, maka perempuan pun demikian.
Dia juga tak boleh menangis.

Benar. Ia tak boleh menangis.

***

Alhamdulillah
Akhirnya up juga...
Thanks semuanya

See you next chapter

Salam,

Lintang AksamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang