4

13 2 0
                                    

Kalian tahu apa yang dirasakan korban pelecehan seksual?

Kami diam bukan karena kami menikmatinya, melainkan kami tidak tahu harus berbuat apa. Otak kami terpenuhi berbagai kalimat yang akan diucapkan orang lain jika kami bercerita.

Di negara ini, orang-orang terlalu sibuk menyalahkan korban. Yang ditanya pertama kali pasti pakaian yang dikenakan korban utamanya korban wanita. Mereka tak menyalahkan sang pelaku. Bagaimana dengan korban pria? Kalian ingin menyalahkan pria karena seharusnya ia bisa melindungi dirinya sendiri?

Banyak sekali korban yang tak mau membicarakan hal itu. Kenapa? Karena pemikiran masyarakat yang begitu sempit. Mau menyalahkan pakaian? Fisik? Seharusnya masyarakat sadar, bukan itu masalahnya. Jikalau pelaku bisa menahan nafsunya, hal ini tak akan terjadi. Masyarakat benar-benar sibuk menyalahkan dibanding membantu.

Maka, kusimpan masa kelam itu, dan selamat, kalianlah yang pertama  mengetahuinya.

***

Aku hanya ingin kedua orangtuaku kembali. Pemikiran enteng yang sangat susah untuk direalisasikan. Banyak hal yang kualami karenanya. Beruntung sekali bagi mereka-mereka yang tertawa lepas di tempat umum bersama keluarganya, sungguh, hatiku iri.

Aku sendiri yang membuat keirian itu semakin besar. Aku yang terlalu banyak berharap. Bukan salah mereka yang tertawa. Pemikiranku yang gila. Terobsesi dengan keluarga utuh dan hidup harmonis layaknya film. Karena tidak ada yang tidak mungkin, membuatku terjerumus. Aku terlalu percaya hingga melupakan sang realita.

Diri ini bisa apa? Menangisi takdir puluhan purnama. Bantuan? Bocah ini tak lagi memahami arti 'bantuan'. Orang-orang bermuka dua selalu berkedok menawarkan bantuan yang padahal hanya rasa ingin tahu saja untuk bahan pembicaraan mereka. Itu membuat bocah ini kehilangan makna dan tentunya rasa percaya untuk orang lain. Tertutup sudah hatinya. Aneka ragam topeng ia kenakan demi melanjutkan hidupnya yang telah mati ini.

Sudah lama aku ingin mati. Perkara ditinggal sahabat yang memilih teman baru, kakak yang tak ada hentinya memaki, rundungan akan keluargaku yang hancur. Betapa beraninya aku kala itu, rela mendapat pelanggaran besar karena membela harga diriku dan mama. Aku tak pernah ingin berada di posisi ini, tak ada seorang pun yang ingin merasakannya. Aku benci ayah tiriku.

Teman-teman selalu bertanya, siapakah sesosok yang mengantar Kania? Awalnya aku mengabaikan pertanyaan itu. Namun, tetap saja ada yang bertanya terus-menerus. Hingga akhirnya aku menjawab, "Dia ayahku. Tiri." 

Mereka tertawa, sementara aku benci atas respon yang mereka berikan. Seharusnya tidak usah kuberitahu. Untuk apa? Bocah ini hanya menyulitkan diri saja. Kemudian, benar saja. Mereka mencemoohku dengan kalimat, "Kania anak Pak Otot!" Mungkin yang mereka lihat, Kania kecil hanya diam saja. Akan tetapi, jauh di dalam hatinya, ia berteriak bahwa ia bukan anak dari orang itu. Kania hanya anak papa dan mama saja. Tidak ada yang lain. Mau seburuk apapun keadaan orangtua kandungnya, Kania tak masalah asal Kania bukan anak dari ayah tirinya.

Papa sendiri tak suka dengan Kodok. Dulu mama pernah memberikan pin BBM Kodok kepadaku dan menyuruhku untuk menyimpan kontaknya. Mau tak mau kusimpan. Ketika aku menginap di rumah papa, ponselku terkadang dipinjam papa. Beberapa hari kemudian aku sadar jika papa menghapus kontak Kodok. Maka kucoba lagi menyimpan kontak Kodok sebelum menginap di rumah papa. Seperti dugaan, papa menghapus kontak Kodok lagi. Aku berbicara pada mama jika aku tak mau menyimpan kontak Kodok, aku saja tak menyukainya apalagi papa?

Hari-hariku berjalan hingga akhirnya mama bilang padaku bahwa mama sedang mengandung calon adikku. Semakin pupus harapan Si Bodoh untuk mengembalikan kedua orangtuanya. Seminggu kemudian, mama bilang calon adikku adalah kembar. Dua. Dua bayi akan hadir di rumah mama. Dua bayi membuatku semakin susah untuk menyatukan orangtuaku. Aku harap ini hanyalah mimpi. Aku tak mau punya adik. Aku mau membunuhnya.

Ah, apa mama akan membenciku jika aku membunuh kedua bayi itu nantinya? Tidak, Kania. Kamu harus menjadi anak yang baik. Mama akan sayang denganmu jika kamu bisa membuatnya bahagia. Kamu diam saja, ya? Pasti suatu hari nanti, apa yang kamu harapkan akan terwujud. Bersabarlah...

Sepertinya aku harus menunggu. Daripada memikirkan hal itu, bagaimana kalau aku rajin-rajin belajar? Biar kutunjukkan aku bisa mendapat nilai sempurna. Biar kutunjukkan kalau aku berbeda dengan kakakku. Berbeda dari sikap maupun kecerdasan otak.

Siksaan dari kakak masih berlanjut. Tetap kutahan, kusimpan, kupendam dalam-dalam. Setiap aku ingin menangis, aku akan menangis dalam hening. Menangis berkedok kedinginan sehingga hidung mampet. Jangan lupa, sambil tertawa jika ditanya.

Semakin sakit, semakin tersembunyi.

Disaat seperti itu, aku menyukai teman lamaku. Sayangnya ia harus pindah ke ujung Pulau Jawa. Cinta monyet yang buruk. Selalu ditinggalkan. Tak hanya itu, saat aku duduk di bangku SD tahun akhir, sahabatku dari kelas 4, tiba-tiba terasa jauh sekali. Aneh, padahal kelas kami bersebelahan. Kutanyakan gadis kecil itu pada sahabat laki-laki ku, (Afi, biasa kupanggil Shadow master, pinky shoes, muka rata, ketan, dan lainnya) yang sudah berteman denganku dari kelas 2. Alangkah kagetnya aku, ternyata ia sudah mempunyai teman baru. Petir di siang bolong rasanya. Tidak, lebih seperti panah berapi ditujukan kepadaku.

Aku marah, tak bisa berkata apa pun. Aku mulai tahu siapa perebut sahabatku. Lalu aku berpikir, bukankah Tsabitha sudah punya sahabat dekat? Siapa namanya? Aje? Kuamati sepertinya mereka semakin menjauh? Ada apa ini? Apa Aje juga sama seperti ku? Hanya satu cara untuk mengetahuinya.

Suatu hari di lorong depan kelas Aje dan tentunya Tsabitha-Raras (sahabatku, mungkin akan menjadi mantan sahabat) aku menunggu Raras. Yah, mudah sekali ditebak, Raras lebih memilih pergi dengan Tsabitha. Tiba-tiba saja Aje menghampiriku.

"Nunggu Raras ya, Ni?" tanya Aje seraya duduk di sampingku.

"Hehe, iya. Tapi kayaknya dia maunya sama Tsabitha," ujarku murung.

"Terasa ya?"

Aku menoleh, "Iya, kamu juga udah jarang sama Tsabitha, kenapa?"

"Oh, dia udah nemu temen baru," Aje tertawa. Tawa yang dipaksa itu terlihat jelas dimataku.

"Gerombolan tadi itu temen-temen barunya?" Aku tak rela Raras berteman dengan penggosip seperti mereka.

"Iya, Ni. Aku juga bingung, kayaknya dulu aku main sama mereka semua. Sekarang kok kayaknya aku dijauhin ya?" Siapa yang tidak sedih dijauhi teman dekatnya?

"Sama. Baru kelas enam ini kan?"

"Ya gitu deh," kutepuk-tepuk pelan bahunya agar tetap tenang.

Aku ingin membuktikan sesuatu, "Boleh minta tolong?"

"Minta tolong apa? Tentang mereka?" Tanya Aje.

"Jadi mata-mata aku ya!" pintaku sambil tersenyum.

"Dengan senang hati, Kania. Sama-sama ditinggal juga. Ga masalah,"

"Makasih! Nggak usah khawatir. Kamu bareng aku aja gapapa. Atau ngga bareng Sabil kelas D, tuh kalau aku nggak ada."

Awalnya waktu kelas 4,  aku empat bersahabat. Lalu sewaktu kelas 5, temanku beda lagi, menjadi 6 bersahabat. Yang sama hanya Raras dan Sabil. Saat itu kami senang sekali membahas anime ninja berambut kuning.

Kelas enam, aku masih cukup dekat dengan kumpulanku kelas 5, tapi hanya Liana, Naya, Raras, dan Sabil.

Karena Aje, aku mulai mengetahui seberapa dekat Raras dengan Tsabitha. Dulunya aku dan Raras suka bermain sandi Caesar. Aku yang makin jauh dengannya, memberanikan diri memasukkan surat bersandi ke dalam note kecil yang dibawanya setiap hari. Tak ada balasan.

Agustus 16
-Craxx.

AKU (Tidak) Bahagia.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang