Tapak kaki

3.1K 308 2
                                    

Selamat pagi ...
Selamat membaca:)

.



[]

Langit sedang tidak menawan hari ini. Wajahnya muram, gelap, mengatakan pada semesta bahwa ia akan melepas tangisnya.

Orang-orang sibuk menambah kecepatan laju kendaraannya. Berlari kecil agar segera sampai. Tak peduli lagi sapaan kala air hujan jatuh tak terkendali. Byurrr!

Teras-teras toko dijadikan tempat meneduh. Jalanan sepi, sesekali hanya mobil yang mampu melintas menerjang derasnya hujan. Hitungan jari, para pengendara sepeda motor yang berlindung di balik jas hujan.

Mbak, tolong buatkan MPASI buat Al ya! Saya kejebak hujan. Sebelum dzuhur insyaAllah saya pulang’

Kirim.

Setelah mengirim pesan, ia memasukkan ponselnya ke dalam tas hitam miliknya. Ia memilin ujung seragam PGRI, sesekali mendongak ke langit memohon untuk reda.

Terhitung tiga puluh empat hari setelah ia mengantar Abid di teras rumah. Selepas shalat tahajud, sebelum shalat subuh ia melepas suami pergi menunaikan tugas. Ia memutuskan untuk meneruskan impiannya. Bermodal ijazah, ia mampu menjadi pengajar honor di Sekolah Menengah Atas kawasan Srondol Wetan.

Keputusan yang diambil setelah semalaman berpikir. Ia menyelami mimpi-mimpi ketika kecil dulu. Menjadi guru untuk mendongkrak kualitas generasi muda. Ibunya memasrahkan semua keputusan pada Risel. Bagaimana pun dialah yang menjalani.

Dengan bantuan Mama Rayyan, ia menyewa pengasuh. Mbak Ira, janda usia 40 yang bekerja dengan baik pada Risel.

Jam istirahat, Risel memilih pulang untuk memberi asi Alfath. Jam ngajarnya hanya sampai kamis. Itupun tidak genap delapan jam. Saat sudah menuntaskan jam kerjanya, ia memilih pulang dan kembali ke sekolah sekadar mengisi absen pulang.

Sebulan ke belakang ini, Abid hanya mengabari satu kali. Itu pun sebuah pesan singkat yang menyatakan bahwa Abid sedang baik-baik saja. Risel selalu menghela napas, berusaha memaklumi keadaan suaminya.

Banyak hal yang dilewatkan. Banyak kejadian yang tak bisa diceritakan pada Abid. Perkembangan Alfath, keadaan rumah, sampai kesibukan Risel saat ini. Semua tak diketahui oleh Abid.

Abid tak tahu jika Risel menghabiskan akhir pekannya di Toko. Abid juga tak tahu jika toko kue yang dirintis dari nol itu perlahan mulai sepi. Membuat Risel memutar otak untuk menemukan solusi bagaimana caranya agar bisa menarik pelanggan lagi.

Keadaan toko yang mulai sepi, menjadi dorongan untuk Risel memilih bekerja sebagai guru. Mengingat keadaan ekonominya sedang dirundung sara, ia harus bekerja untuk mencukupi kebutuhan.

“Assalamualaikum,” sapa Risel sebelum masuk ke dalam rumah dengan keadaan basah. Ia terpaksa menerjang hujan karna belum reda juga sampai masuk waktu dzuhur.

“Waalaikumussalam, Bu nerjang ujan? Lebih baik Ibu mandi, Bu nanti sakit kena air ujan,” saran Ira. Risel mengangguk dan segera melenggang pergi ke kamar mandi.

***

Risel menatap sendu wajah Alfath yang lidahnya menari-nari mengecap MPASI yang disuapkan. Mbak Ira sudah pulang. Memang begitu, ketika Risel sudah pulang maka Mbak Ira dipersilahkan untuk kembali ke rumahnya.

Ia meneteskan air matanya saat mengamati wajah Alfath. Ia merasa berat menjalani hari-harinya. Penat sekali baginya. Pekerjaan menuntutnya untuk meninggalkan Alfath di pagi hari. Ia membelai pipi anaknya, merasa bersalah.

Menjadi kegiatan rutin, sebelum tidur ia menumpahkan air matanya. Ia selalu terbayang wajah Abid. Ia merindukan lelaki itu.

Semua bayang-bayang negatif selalu menghantui sebelum ia terlelap dalam tidur. Sekuat mungkin ia menepis bayang-bayang itu. Namun susah.

ABIDAKARSA-Sebuah Jalan.(Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang