Caramelly Tiga - Firasat

58 10 0
                                    

Setelah kepulangan Ibu dan Valen ke Makassar, apartemenku kembali seperti semula. Sepi. Tak ada lagi suara Valen teriak-teriak kalau sedang dipaksa makan, tak ada lagi suara lego Valen yang jatuh berserakan dan juga tak ada lagi yang memasak di dapur dengan makanan khas Nusantara dan pastinya sudah tidak ada lagi omelan Ibu yang mengisi keheningan apartemen.

Aku segera menghabiskan sarapanku terlebih dahulu. Ini sudah hari ke sepuluh sejak kepulangan Ibu. Roti panggang yang hanya diolesi oleh butter dengan segelas teh lemon madu menemani sarapanku pagi ini. Aku memang jarang memasak untuk sarapan. Lagian di rumah sakit juga bisa buat beli makanan berat.

Setelah menyelesaikan sarapanku, aku lekas mengambil tas kerjaku lalu meninggalkan apartemen. Hari ini aku akan menjemput Vito lebih dulu sebelum berangkat ke rumah sakit bersama-sama karena mobilnya masuk ke bengkel kemarin sore.

Sambil bersenandung pelan mengikuti alunan lagu yang terputar, mataku awas melihat jalanan sekitar. Rumah sakit tempatku bekerja sebenarnya menyediakan rumah dinas dan juga mess buat tenaga medis yang jarak rumahnya jauh dengan rumah sakit, namun rasanya akan pasti asing. Semenjak SMA, aku sudah terbiasa tinggal di apartemen yang kutempati tinggal sekarang. Lagian aku tidak terbiasa dengan suasana ramai. Aku membayangkan tinggal di mess sama dengan tinggal di asrama. Ya, meskipun bisa milih kamar sendiri namun satu bangunan bakalan ramai. Membayangkannya saja aku sudah geleng-geleng kepala.

Begitu mobilku sudah kuhentikan di depan apartemen Vito, aku langsung merogo ponselku untuk me-whatsapp-nya. Aku berpindah tempat duduk setelah melihat Vito sudah berjalan ke arah mobilku.

"Pagi, sayang!" sapanya setelah masuk ke dalam mobil. Jas dokter yang sebelumnya ia tenteng dia gantung dengan menggunakan hanger yang selalu ada di mobilku.

"Pagi. Laporan kamu bawa, kan?" tanyaku. Kemarin kami baru saja melakukan pertemuan Mingguan seperti biasanya.

"Bawa. Ada di flashdisk. Kalau lupa juga berabeh. Malas pulang."

"Bagus, deh."

Lagu terganti tepat di saat Vito melanjutkan perjalanan kami. Tak ada yang mengisi percakapan. Aku akhirnya mengambil ponselku kembali untuk menjelajahi akun instagramku. Mataku langsung terbelalak saat melihat foto yang Vito tandai. Foto di mana aku tertidur di ruangan kerjaku dengan mulut yang sedikit menganga. Bukan itu saja. Caption yang tertulis di sana membuatku ingin menimpuk kepala Vito dengan ponsel yang kupegang.
'Calon istriku, kok, cantik banget tidurnya.'

"Vito! Kok, upload foto aib gini, sih? Nggak anggun-anggun benar," kesalku menunjukkan postingan yang dia upload. Vito melihatnya sekilas kemudian tertawa. Aku semakin merengut.

"Salahnya apa coba? Lagian kata orang, tidur itu adalah kecantikan natural yang pernah ada."

Aku kembali memerhatikan postingannya. "Yang cantikan, kan, ada yang lainnya. Apalagi ini banyak teman-teman medis yang komen."

"Astaga, sayang. Masih pagi, loh, ini kalau mau ngomel-ngomel."

Baru saja aku akan mengeluarkan ucapan terbar-bar yang pernah ada, aku langsung memegang kuat lengan Vito. "Awas, Vit!" sentakku. Vito dengan spontan menginjak rem mobil membuat badanku sedikit terhuyung hingga jidatku hampir menubruk dashboard. Dengan sangat pelan, aku menaikkan kepalaku melihat sekitar. Sepertinya baik-baik saja.
Aku menoleh ke samping dan mendapati Vito yang sepertinya masih kaget. Tangannya yang memegang setir mobil memperlihatkan urat-uratnya.

"Kamu ... kamu nggak papa?" tanyaku masih belum bisa mengontrol keterkejutanku.

Vito malah menatapku lalu tersenyum. "Enggak papa. Kucingnya nggak ketabrak, kan?"

Kuat Untuk Sebuah PatahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang