The Lonely Prince

9.9K 735 81
                                    


Cuaca tidak pernah lebih terik daripada hari ini. Di tengah arena pacuan kuda, Namjoon mendongak dengan mata terpejam, menyapa mentari yang ia rasa sedang menunjukkan kekuatannya dalam diam.

Lantas ia tersenyum mengingat mentarinya yang sudah lama tak ia kunjungi secara diam-diam karena ia sendiri sedang sibuk menjadi penguji kemiliteran para sarjana.

Ia hanya libur di akhir pekan dan itu pun selalu digunakannya untuk berdiskusi dengan aktivis laskar pembela tanah air yang diam-diam sedang mengawasi pemerintah yang terlalu baik menerima Bangsa Asing.

Namjoon masih berkutat pada pikirannya sendiri sampai ia dengar suara prajurit berkuda berdatangan memasuki arena itu. Ia mengencangkan rahang, menutup kegugupan atas apa yang ia jumpai sekarang.

Mentarinya mendekat, keluar dari tandu berukiran naga yang terlihat sengaja diciptakan begitu sakral. Saat itulah Namjoon benar-benar terpaku. Ini pertama kalinya ia berjumpa dengan mentari sedekat ini.

"Jenderal Kim Namjoon?" Bibir seindah kelopak mawar itu bergerak perlahan menyerukan nama Namjoon. Kedua matanya bonekanya berkedip lirih menunggu Namjoon yang masih termangu di atas kuda yang membuatnya terlihat begitu gagah dengan bulir keringat yang mengalir pada urat lehernya yang menonjol.

Beberapa saat kemudian, seorang prajurit berpura-pura batuk langsung menyadarkan Namjoon untuk segera memberi hormat pada Putera Mahkota Istana yang sedang mengunjunginya.

Namjoon lekas turun dan memberi hormat. Pertama kali. Dan ia melakukannya begitu tulus, dengan kedua mata yang menyelami kejernihan pada sepasang mata Putera Mahkota.

"Ada yang bisa saya bantuーYang Mulia?" Lidahnya kaku menyebutkan gelar terhomat itu. Rasanya seperti dihujani pukulan air terjun di atas kepala mengingat orang yang diam-diam ia perhatikan selama ini adalah Putera Mahkota di negerinya. Orang yang seharusnya ia junjung tinggi.

Mendapat kode dari Putera Mahkota, prajurit berkuda dan pengawal yang membawa tandu mundur beberapa langkah, memberi ruang privasi.

"Jadilah tangan kananku."

Tiada yang bersuara setelah itu. Semilir angin hanya menguarkan aroma dedaunan segar dari tubuh Kim Seokjin. Dan Namjoon hanya terpaku dengan jakun naik turun disertai napas memburu merasakan perubahan aroma tubuh pria semulus porselen di hadapannya menjadi buah pig yang begitu creamy dan milky.

Manis dan lembut begitu cocok dengan rupa bangsawan yang hidup atas berkat dewa.

"Maaf, saya tidak bisa."

Mereka berdua saling melempar senyum. Berbeda sekali dengan senyum tipis yang tersungging di bibir Seokjin, sorot mata buas milik Namjoon meredup selayaknya pijar kunang-kunang yang mati di atas pemakaman tua.

Seokjin segera menutup kekecewaannya dengan decih lirih sembari berbisik tepat di leher Namjoon. "Kau lebih mementingkan karir militermu? Atau karena aku tidak membawamu ke rumah bordil berisi gisaeng pilihan?"

Namjoon sontak terkejut mendengar pertanyaan itu keluar dari mulut pria yang begitu ia puja. Orang macam apa Yang Mulia yang terhormat ini?

"Aaa, kudengar kau lebih suka geisha?!" Ia sengaja menaikkan nada bicaranya, terlihat begitu sinis melihat Namjoon yang tak kunjung menjawab pertanyaannya.

Dengan kurang ajarnya Namjoon terkekeh lirih. Seperti mendapat kejutan yang tiada berujung, Seokjin mendapati sorot mata lawannya itu kembali berkelip-kelip seperti bintang yang menuangkan lelehan madu.

"Do you know what sucks being rejected? The way you reject me makes my lust burn!"

Seokjin sengaja bergumam geram dengan bahasa asing yang ia pelajari selama menempuh pendidikan di Barat.

Flower Moon [Namjin]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang