Spanduk itu terbentang melintang di pagar gedung DPR. Tidak diikat atau ditegakkan dengan sebuah tiang, hanya kain putih tipis dan muntahan cat merah, disampirkan secara asal oleh demonstran yang baru saja dibubarkan polisi.
JAS MERAH
Tertera dengan lantang dan tanpa rasa takut. Kamu yang hendak berjalan pulang dari tempat kerja berhenti di depannya sesaat, lalu tersenyum kecut.
Jangan sekali-kali melupakan sejarah dan jangan sekali-kali meninggalkan sejarah.Bagi demonstran yang berkumpul tadi siang, kata-kata yang diujarkan sang proklamator itu adalah bon penagih utang wakil rakyat kepada rakyat; tapi bagimu, kata-kata itu adalah pelatuk yang mengantarmu ke kenangan mengenai bocah laki-laki yang duduk di depanmu saat SMA. Yang tidak bisa berhenti menggerakkan kursinya saat pelajaran sejarah hingga kursinya patah. Kamu masih ingat saat di mana kursi yang patah itu menabrak mejamu; hingga mejamu menghantammu dan pensil yang baru dia belikan untukmu jatuh menggelinding.
Kemudian dia minta maaf.
Kenangan itu mungkin hanya tetes air embun di samudra negara yang tengah bergejolak ini. Tapi hal itu tidak kalah pentingnya untukmu.
***
Kau bertemu dengannya pertama kali saat kelas sebelas. Setelah penjurusan resmi diberlakukan dan kau dan teman-temanmu mendapatkan tambahan identitas baru di sekolah selain namamu. Dia anak yang riang seperti burung prenjak di halaman rumahmu; pertemanannya luas, seluas sudut – sudut sekolah, menerobos rasa sungkan beda usia, dan jaring-jaring stereotip penghuni sekolah. Semua orang menyayanginya, seperti semua orang menyayangi matahari yang hangat. Semua orang tertarik mendekatinya, seperti samudra yang pasang menyambut bulan. Tapi bagimu, dia seperti tonggeret yang berisik menjelang musim panas, menyebalkan.
Dia duduk di depanmu, dan gemar berayun dengan kursinya. Kamu merasa suatu saat nanti dia akan jatuh dan menghantamkan kepalanya ke pinggir meja. Tapi kamu tidak pernah mengatakan apapun. Tidak terpikirkan olehmu bahwa kau bisa memperkirakan masa depan.
Dia memperkenalkan diri padamu, namanya Seungjoon. Tentu saja kamu sudah tahu. Tapi kamu tersenyum dan menyambut uluran tangannya. Dia tersenyum, lebar sekali.
Setelah itu dia berbalik badan dan memainkan tombol bolpoin hitamnya. Kamu merasakan benih-benih kejengkelan tumbuh di hatimu, tapi entah kenapa kamu malah tertawa. Dia menoleh lagi menatapmu bingung. Kamu menundukkan kepalamu malu.
Kamu pulang dengan berjalan kaki, sedikit gemas pada anak laki-laki yang duduk di depanmu. Matahari terik menyambar bumi, tapi langit sangat biru, dan angin sejuk menyapamu. Masakan sederhana ibu hari itu terasa sangat lezat. Malam itu kamu tidur nyenyak dengan mimpi indah yang tidak bisa kau ingat saat bangun.
--
Satu semester berlalu dan jarak di antara kalian semakin dekat. Kini dia sering membalik kursinya untuk bicara padamu. Dia bicara dengan cepat, dengan topik yang meloncat-loncat seperti kelinci. Mimik wajahnya ekspresif, ilustratif, kadang kamu tertawa dibuatnya. Dia bertanya kenapa tapi kamu tidak pernah menjelaskan, hanya membalasnya jahil, “ada semut di kepalamu dari tadi.” Tidak ada apa-apa di kepalanya, tapi melihat ia mengacak-acak rambutnya membuat otot wajahmu tersenyum tanpa izin. Sungguh menyebalkan.
Dia memperkenalkanmu pada teman-temannya. Wyatt, anak kelas IPA, yang awalnya membuatmu sedikit segan; Minkyun, anak IPS-2 yang sering dihukum saat upacara; Kak Changyoon yang awalnya pendiam tapi ternyata tidak; lalu anak-anak ayam kelas sepuluh, Yuto dan Minseok. Kamu menyadari bahwa di antara banyak orang yang mengerubunginya seperti lebah, hanya segelintir yang benar-benar akan menopangnya saat ia terkilir. Dan di pusat pertemanan yang sangat erat itu, ada Kim Hyojin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pengumuman: Foto buku kenangan maksimal dikumpulkan hari senin
FanfictionKumpulan cerita pendek mengenang masa SMA. Sebuah fanfiksi untuk ONF. 1. Jas merah: tentang anak laki-laki yang duduk di depanmu saat SMA. Tentang sahabatnya. Dan tentang sebuah kepergian. (J-US / Reader / Hyojin) disclaimer : cerita ini hanya fa...