Bagian-I

55 2 0
                                    

Satu semester sudah Agata lewati di universitas dan ia tidak berencana untuk kembali pulang ke rumah, melainkan menetap di asrama untuk mengisi kegiatan dengan aktivitas yang lebih bermanfaat. Agata sudah izin dengan kedua orang tuanya untuk tidak pulang sebab ada banyak pekerjaan yang harus dilakukan.

Hari ini Agata harus bersiap lebih awal dari hari sebelumnya sehingga ia bangun pagi-pagi sekali untuk menyelesaikan beberapa pekerjaan rumah yang belum di siapkan. Ada tugas menumpuk di atas meja yang tak kunjung berkesudahan. Ia harus meminta tanda tangan Wakil Kepala Satu serta Professor Pembina untuk izin pelaksanaan proyek.

Saat berada tepat di depan ruangan, tanpa sengaja Agata  melihat Wakil Kepala Satu sedang berbincang dengan seorang tamu. Lamat-lamat Agata mendengar perbincangan tersebut.

"Kamu bisa memastikan menemukannya kan?"

"Saya akan berusaha, Pak."

Agata mengetuk pintu dan masuk. Ia melihat orang yang duduk di hadapan Wakil Kepala Satu dan mengernyitkan dahi.

"Swani?"

"Hai. Agata."

"Sedang apa kamu disini?"

"Hanya diskusi dengan Wakil Kepala Satu."

"Ohh." Agata menganggukkan kepala.

"Agata, kamu mau minta tanda tangan?"

"Oh. Iya, Pak."

Agata memberikan berkas kepada pria berusia kepala empat itu.

"Saya permisi, Pak." Swani berdiri dan menjabat tangan Wakil Kepala Satu, lalu berjalan meninggalkan ruangan sambil berpamitan dengan Agata.

Agata terlanjur menaruh curiga pada tetangga sebelah asramanya yang sangat suka melukis tersebut. Namun ia menepis pikiran itu jauh-jauh sebelum selesai berdiskusi dengan Wakil Kepala Satu.

"Siapa pembimbingmu?" tanya Prof. Lasmana.

"Prof. Putra Rallawangi."

"Wah. Pembimbing muda ya." Ia tersenyum lebar.

"Benar, Pak. Beliau juga cerdas."

"Penelitian kamu ini bercerita tentang apa?"

"Saya ingin mengetahui apakah ada dampak dari kekuatan magis sebuah tanaman terhadap kepercayaan individu, terutama mereka yang berdarah Plantae."

Seketika wajah Prof. Lasmana menyiratkan ketegangan. Ada rasa khawatir di dalam dadanya yang disembunyikan baik-baik dari hadapan Agata sehingga tubuhnya terasa tidak nyaman dan ingin menyudahi perbincangan.

"Itu bagus." kata Prof. Lasmana sambil tersenyum, "Semoga berhasil, Agata!"

Agata hanya mengangguk dan mengucapkan terima kasih lalu pamit mengundurkan diri dan keluar dari ruangan.

Ia melihat ke kiri dan kanan, mencari Swani yang entah berada dimana. Agata berpikir keras apa yang sedang dilakukan Swani dengan Prof. Lasmana pagi-pagi begini. Bahkan wilayah ini bukan fakultasnya ditambah bulan ini juga libur semester . Swani tidak akan berada di universitas terlalu lama, ia pasti segera pulang ke rumah neneknya untuk menghemat uang.

Swani Danardaru adalah gadis pendiam. Ia senang melukis hal-hal indah yang kadang sulit di pahami kaum awam. Interpretasinya terhadap goresan warna sangat penuh emosi dan cinta. Agata sering melihat Swani meditasi sebelum ia melukis. Bahkan ketika beberapa kali mengirimkan makanan yang terlalu banyak di masak, Swani selalu saja sibuk dengan kanvas, cat, dan kuas serta pakaian warna-warni hasil cipratan atau tumpahan cat.

Agata Dara dan Skandal Wijaya KusumaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang