Laki-laki itu melangkah gontai, menuju halte yang tak jauh dari kampusnya. Terlalu banyak kegiatan hari ini, ditambah dengan revisian skripsi dari dosen pembimbing yang menyesaki kepalanya, membuatnya sedikit kepayang.
Sekarang tepat pukul 05:00 sore, Ia benar-benar lelah. Jadi Ia memutuskan untuk pulang cepat agar segera bisa bertemu dengan kasur empuknya. Ia bahkan tak berniat untuk mandi lagi. Ia hanya ingin tidur, itu saja.
Menemukan bis pada hari sesore ini merupakan hal yang tidak mudah. Laki-laki itu menunggu setengah jam sampai pada akhirnya bis terakhir pun datang. Langit kota mulai mengoranye dengan matahari yang sedikit lagi tergelincir di ufuk barat.
Lalu lintas masih ramai, dengan sedan-sedan pegawai negeri dan karyawan kantoran yang berbondong-bondong menuju rumah mereka masing-masing. Mereka juga sepertinya ingin segera melepas penat dengan keluarga di rumah, setelah seharian berkutat dengan dokumen-dokumen penting dan teknologi-teknologi canggih zaman sekarang.
Memandang keluar jendela bis berpendingin dua-puluh derajat ini adalah kegiatan yang disukainya. Ia suka melihat apapun dari dalam sini. Jalanan yang tak pernah lengang, kota yang tak pernah tidur, serta keringat orang-orang yang tak berhenti mengalir. Ia suka mengamati dedaunan pohon-pohon yang memagari jalanan bergoyang diterpa angin, kadang keras, kadang juga hanya sekadar lewat.
Di saat-saat seperti ini, terkadang memori-memori masa lalunya bahkan tak sengaja singgah di pikirannya sekali-dua kali. Menyapa dengan hangat bak teman lama yang akhirnya kembali berjumpa.
Masa lalunya benar-benar luar biasa, sampai-sampai Ia merasa tak akan pernah sedetikpun tuk melupakannya.
(Flashback)
"Mereka bilang aku ga akan bisa dapetin beasiswa itu." Ucap remaja laki-laki berparas manis itu pada lelaki parubaya yang biasa Ia panggil dengan sebutan appa.
Remaja laki-laki itu bernama Jeongwoo.
Mendengar ucapan putranya, sang ayah menoleh dan bertanya, "Mereka siapa, Jeongwoo?"
"Mereka, orang-orang, teman-temanku." Jawab remaja laki-laki itu kemudian.
"Dan kamu percaya ucapan mereka?" tanya sang ayah lembut.
"Engga dong, appa. Mereka kan ga tau aku, mereka ga tau setinggi apa mimpi-mimpiku. Kalau mereka ga percaya aku, ya udah, tinggal aku buktiin ke mereka kalau aku bisa. Mereka bilang, ga ada yang bisa dapetin beasiswa itu, bahkan kakak-kakak kelasku terdahulu. Tapi, aku tetap yakin kalau aku bisa. Aku akan jadi orang pertama yang dapetin beasiswa di universitas itu. Aku akan berkuliah di sana, appa."
Hati sang ayah pun bergetar, mendengar kata-kata yang terucap dari bibir putranya. Ia tahu. Ia tahu benar putranya memiliki berjuta mimpi, dimana beberapa mimpi terbesarnya selalu Ia tulis di selembar kertas yang Ia tempel di dinding dingin kamar tidurnya.
Dan seiring bertumbuhnya Jeongwoo, satu persatu mimpi di dinding itu pun terwujud dengan kerja keras dan doa yang setiap hari Ia panjatkan.
Yang Maha Kuasa sangat menyayangi anak itu sepertinya, karena Ia memiliki semangat yang tak pernah padam dalam meraih setiap inchi dari mimpi-mimpinya.
Salah satu mimpi yang ingin dicapainya saat ini ialah mendapatkan beasiswa masuk perguruan tinggi favoritnya. Tak ada alasan istimewa, Ia hanya ingin meringankan beban kedua orangtuanya plus hidup mandiri di kota seberang.
Akan tetapi, mimpinya yang satu ini terasa tak semudah mimpi-mimpi sebelumnya tuk diraih. Orang-orang meragukannya, mengirimkan berjuta kalimat keraguan dari bibir-bibir mereka, yang membuatnya terjatuh sebelum berperang seharusnya.
Namun dengan santainya Jeongwoo berpaling, Ia tak pernah sedetikpun mengubris perkataan orang lain. Kadangkala Ia hanya bisa tersenyum, kepada sekelompok temannya yang menatapnya dengan aneh di koridor sekolah. Lain waktu Ia akan berusaha membela diri dengan sopan ketika beberapa gurunya berkata bahwa mimpi ini hanyalah sebuah bunga tidur semata, yang tak akan pernah bisa menjadi nyata.
Hanya karena Ia bukanlah siswa terjenius di sekolahnya, orang-orang seakan menentangnya mempunyai mimpi setinggi itu. Tapi Jeongwoo tak peduli, Ia tahu bahwa Ia sangat yakin akan mimpinya.
Bis berhenti sepersekian detik setelah Ia tersadar dari lamunannya. Hari sudah gelap dan Ia berjalan tergesa menuju rumahnya, takut-takut sesuatu yang tak diinginkan terjadi. Ayah ibunya pasti sudah menunggu kedatangannya di rumah.
Sesampai di rumah Jeongwoo benar-benar langsung merebahkan dirinya di atas kasur. Kipas angin berputar kencang, menghembuskan angin buatan yang cukup menyejukkan. Tanpa menunggu lama Ia sudah jatuh terlelap, memulai satu mimpi indah lagi malam ini.
~
Telpon genggamnya berdering pelan, memainkan salah satu lagu hits milik Adele, When We were Young. Jeongwoo benar-benar menyukai lagu ini sampai mendengarnya berulang kali setiap hari. Dia bahkan menjadikan When We were Young sebagai nada dering panggilan masuk, alarm, serta nada pesan masuk di telpon genggam miliknya. Sebuah nama yang tak asing lagi di telinganya muncul di layar benda persegi panjang itu.
Haruto, laki-laki yang selalu berada di sisinya terhitung semenjak Ia berkuliah. Haruto, laki-laki yang selalu membuat hatinya menjadi sama hangatnya seperti sinar sang surya di pagi hari.
Mereka bukan sepasang kekasih. Mereka tidak berpikir mereka membutuhkan status itu. Mereka hanya tahu satu fakta bahwa mereka saling mencintai. Haruto tak pernah mengungkapkan sebesar apa rasa sayangnya pada Jeongwoo, Jeongwoo pun begitu. Tapi Jeongwoo tahu pasti bahwa Haruto mencintainya dengan sepenuh hati.
Segera Jeongwoo mengangkat panggilan itu, berkata, "Yes, Haru?" dengan lemah.
Ia sedang tidak dalam mood yang baik sekarang. Tetapi Ia juga tak ingin mengacuhkan Haruto begitu saja. Selama ini laki-laki itu selalu mengerti dirinya, Ia tahu Jeongwoo sedang repot menyusun skripsi yang terasa seperti tak akan pernah selesai, dan selalu menyempatkan waktunya untuk menghubungi Jeongwoo untuk sekadar mengecek keadaannya atau menghiburnya. Akhir-akhir ini Haruto jarang menelepon, takut mengganggu katanya. Jadi, Ia setidaknya harus menghargai Haruto dan menjawab panggilannya setiap kali laki-laki itu menghubunginya.
"Aku nelpon di saat yang ga tepat ya, Woo?" Tanya Haruto di ujung telpon dengan nada menyesal.
Mendengar itu, perasaan bersalah seketika muncul di hatinya. "Engga kok, Haru. Aku cuma lagi pusing aja ngurusin skripsi." Jawab Jeongwoo cepat, tak ingin membuat laki-laki itu tersinggung.
"Kerjainnya santai aja ya, Woo. Jangan terlalu ngebebanin pikiran kamu. Kalo kerjanya ikhlas, hasilnya juga pasti baik." Ucapnya penuh perhatian, membuat Jeongwoo sedikit banyak merasa lebih baik.
Haruto selalu seperti ini, membuatnya merasa aman entah mengapa. Terkadang Jeongwoo benar-benar kagum dengan kepribadian laki-laki itu, membuatnya ingin selalu berada di sisinya.
"Iya, Haru. Doain aja skripsinya cepet beres. Ga perlu revisi-revisian lagi."
"Aamiin. Yaudah, Woo, Aku tutup telponnya ya."
Jeongwoo menggangguk pelan, meskipun Ia tahu Haruto tak bisa melihatnya sekarang.
Setelah itu terdengar bunyi tut pelan tanda panggilan diakhiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mencari Celah di antara Mimpi dan Cinta // Hjw
Romance[Hajeongwoo] Mimpi besarnya, dan sosok laki-laki mengagumkan yang selalu berada di sisinya, takkan bisa Ia memilih di antara keduanya, takkan sanggup Ia melepas salah satu darinya. // bxb // sebuah cerita pendek dari si pohon ek.