TUJUH

19 4 0
                                    

Kirana menatap adiknya, Kano yang sudah terlelap disebelahnya. Tadi, waktu Kano masuk kekamar, Kirana berpura-pura tertidur. Ia menungguh Kano terlelap barulah ia bangkit dari tempat tidur.

Tenggorokannya terasa kering serta wajahnya juga terasa lengket akibat air matanya yang sejak pemakaman berusaha ia tahan. Namun, malam ini ia sudah tidak dapat menahan air matanya lagi.

Dengan pelan Kirana membuka pintu kamarnya. Tujuan awalanya sekarang ialah dapur.

Setelah meneguk habis gelas yang berisi air putih hangat barulah ia berjalan  kearah kamar mandi untuk membasuh wajahnya.

Kirana menatap wajahnya dicermin yang terdapat didalam kamar mandi. Matanya bengkak dengan hidung yang sedikit berwarna merah. Kepalanya juga terasa panas dan sedikit pusing. Aduh. Rasanya ia ingin menghilang saja. Perasaan malu mulai hadir dalam pikiran dan hatinya. Bagaimana besok ketika ia sekolah nanti?

Setelah sekian kali ia membasuh wajahnya barulah bengkak serta merah dihidungnya sedikit menghilang. Akhirnya. Semoga ketika bangun nanti matanya sudah tidak bengkak lagi.

Ketika keluar dari kamar mandi, Kirana melihat Ibunya yang sedang duduk di sofa ruang tengah. Ibunya juga menatap kearah Kirana dengan wajah yang nampak kuatir.

Kirana memutuskan kontak mata. Lalu melangkah kearah kamar. Di pertengahan jalan, Kirana menatap figura foto yang digantung didinding.

Nampak, difoto tersebut sang Ayahnya dan dirinya yang tersenyum tanpa beban. Ahh, Kirana jadi merindukan Ayahnya lagi.

Saat ini Kirana belum bisa menerima kepergian sang pahlawannya. Rasanya ia belum siap menerima kenyataan yang begitu pahit. Air matanya hendak keluar namun kembali terdengar ketukan pintu yang sedari tadi berbunyi.

Ia melihat kearah pintu. Nampaknya Ibu sudah kembali kekamar tanpa membuka pintu. Kirana hanya menghela nafas lalu melangkah ke arah pintu.

Saat ia membuka pintu. Dua orang pemuda berdiri dengan wajah garang menatap kearah Kirana. tubuhnya terasa menggigil. Sungguh, saat ini ia sangat ketakutan.

“Dimana Ibu Lo?” Tanya seorang laki-laki dengan tubuh cukup kekar maju mendekat kearah Kirana. “Suruh dia bayar utang sekarang!”

Lidah Kirana terasa keluh. Susah baginya untuk menjawab perkataan laki-laki yang saat ini berdiri dihadapannya. Dalam hati, Kirana terus berdoa agar diselamatkan dari tangan orang-orang yang saat ini berada di hadapannya.

“Kali ini, kami kasih kesempatan buat kalian bayar utang,” ujar laki-laki yang berada dibelakang dengan tubuh sedikit kurus.

“Yon-”

“Kita kasih kesempatan. Ayahnya baru meninggal,”

Laki-laki bertubuh kekar hendak protes namun setelah mendengar penjelasan dari laki-laki yang ia panggil Yon barulah ia sedikit mundur.

Lalu laki-laki bertubuh kurus itu berjalan kearah motor yang terparkir di jalan sempit tempat rumah Kirana.

“Kali ini lo lolos. Liat besok,” ancam laki-laki bertubuh kekar. Lalu pergi meninggalkan Kirana yang masih diam.

Setelah motor yang ditumpangi si penagih hutang hilang. Barulah Kirana masuk kedalam rumah lalu mengunci pintu serta mematikan lampu ruang tengah. Ia melihat Ibunya yang sedang berdiri di depan pintu kamarnya. Sungguh, Kirana jadi semakin membenci Ibunya.

Segera ia berjalan kearah kamarnya lalu menutup pintu dan menarik selimut. Ingin rasanya ia menangis lagi. Tapi, ia tahan. Menangis tidak bisa menyelesaikan masalah kan?

***

“Mbak tetap mau sekolah?” tanya Kano. “Kepala Mbak kan panas.”

Tadi saat Kirana bangun. Kepalanya panas serta sedikit pusing. Ibu sudah menyuruh Kirana untuk Istirahat di rumah saja. Namun, nampaknya Kirana tetap mau turun sekolah.

“Mbak gak papa kok,” ujar Kirana sambil menghelus kepala Kano. “Mbak berangkat dulu ya.”

Kirana berjalan kedepan gang lalu memberhentikan angkot yang lewat. Tak berapa lama Kirana sudah sampai di sekolah. Lalu melangkah kekelas.

Dikelas sudah ada beberapa teman-temannya. Ia meletakkan tasnya dimeja lalu membenamkan kepalanya diatas tas miliknya. Sakit kepala kembali menyerang Kirana. sungguh sial nasipnya sekarang.

“Kir?” panggil Amanda.

“Hmm,” gumam Kirana tanpa mengangkat kepalanya.

“Kir, aku mau ngomong sesuatu ni,” Ujar Amanda sambil menarik lengan baju Kirana.

“Apa?” Tanya Kirana. kini ia sudah mengangkat kepalanya.

“Astaga! Kamu pucat banget,” khawatir Amanda. Tangannya terulur untuk menyentuh kening Kirana. “Panas.”

“Lanjut aja. Kamu mau ngomong apa?”

Amanda hanya bisa menghela nafas. Lalu berkata, “pamanku punya laundry,” Kini  Kirana sepenuhnya fokus menatap kearah Amanda. “Kamu mau kerja disana?”

Memang tadi malam saat para penagih hutang sudah pergi. Kirana bertanya kepada teman-temannya siapa tau mereka bisa merekomendasikan tempat kerja baginya. Kirana takut. Ketika para penagih itu datang lagi dan ia tidak mempunyai uang. Bisa bahaya bagi dia dan Kano.

Dengan senyum cerah, Kirana berkata, “Bisa. Kapan aku bisa kerja disana?”

“Aku sudah jelasin keadaan kamu sama Pamanku. Dia bilang, kamu bisa kerja besok kok,”

Ahh. Kirana sungguh bahagia. Rasanya kepalanya yang tadi pusing sudah sedikit hilang.

***

Alhamdulillah akhirnya up juga..
Thanks buat semuanya

See you next chapter

Salam,

Lintang AksamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang