Los Angeles
Musim dingin 1994Beth mengusap kepala bocah laki-laki yang duduk disampingnya. Bocah kecil itu tengah mengayunkan kedua kakinya yang menggantung setengah dari kursi yang mereka duduki.
Air mata mengalir dengan deras dari kedua belah mata Beth. Meninggalkan jejak di sekitar pipinya yang memerah, sangat kontras dengan kulit putih pucat yang dimilikinya. Wajah cantiknya dihiasi lebam berwarna biru kemerahan disekitar mata dan sudut bibir sebelah kirinya.
"Beth. Kau yakin akan melakukan ini? Aku bisa mencarikan Pengacara yang terbaik untukmu." Suara parau itu menyadarkannya kedunia nyata. Ia sudah terlalu lama tenggelam dalam ratapannya.
Beth menarik tangannya dari kepala bocah itu. Dan mengusap air matanya yang seakan tidak mau berhenti.
"Aku tidak memiliki siapa siapa lagi di dunia ini, Eugene."
"Pikirkan baik-baik Beth, apa kau bahkan tidak kasihan pada puteramu?"
"Satu-satunya hal yang tidak ingin kulakukan adalah pergi meninggalkannya. Namun aku harus mempertanggung jawabkan perbuatanku, Eugene."
"Aku tidak ingin puteraku tahu jika Ibunya adalah seorang kriminal yang membunuh Ayahnya sendiri, namun tidak diadili."
Dahi Eugene berkerut. "Tidak Beth. Kau melakukannya karena ingin membela diri dari pemabuk itu!"
"Aku lebih tidak ingin jika ia tahu Ayah pemabuknya sering memukuli Ibunya."
Eugene membenarkan letak duduknya, bokongnya seakan mati rasa. Sudah berapa lama mereka berkutat dalam posisi ini.
"Ku mohon tolonglah aku, Eugene. Aku tidak tahu harus meminta bantuan kepada siapa lagi selain dirimu."
Beth menatap pria itu dengan penuh pengharapan, semoga pria itu memiliki belas kasihan kepadanya. Setidaknya pada bocah laki-laki yang baru berusia lima tahun itu.
"Kau tahu Lily tidak akan menyukai ide gila ini."
Beth beranjak dari kursinya, mendekati Eugene dengan ragu. Sejurus kemudian ia merendahkan posisi tubuhnya, menekuk kakinya dan berlutut didepan pria bermata cokelat terang itu.
"Beth, apa-apaan ini!"
Eugene merasa tak nyaman dengan situasi itu. Menarik Beth untuk beranjak dari posisinya yang membuat Eugene semakin mengasihaninya. Namun tanpa sengaja mata mereka kini justru bertemu. Dan hal itu membuat masa lalu mereka terbuka kembali satu demi satu seperti sebuah potongan film acak.
Eugene ingat betapa dulu ia memuja wanita itu. Cinta pertamanya, kekasih pertamanya, dan ciuman pertamanya. Segala hal yang ada padanya adalah pertama untuk Eugene begitupun sebaliknya.
Beth memiliki wajah yang sangat cantik, mata berwarna hazel yang indah, rambut hitam gelap dan tubuh yang ramping. Beth juga sangat pintar, dan ia selalu mendapatkan beasiswa dimanapun bersekolah.
Jika saja Beth bukan seorang yatim piatu miskin yang tinggal di panti asuhan, mungkin saat ini bukan Lily yang bersanding dengannya, melainkan Beth.
"Beth, bangun!" Eugene menariknya dengan nada mengancam.
Wanita itu semakin terisak, memeluk kaki Eugene dan menelungkupkan wajahnya disana.
"ELIZABETH!!!" Eugene berteriak frustasi, bukan kepada wanita malang itu melainkan dirinya sendiri.
Bocah kecil yang sejak tadi duduk dikursi seberang itu bersungut kearah Beth dan memeluknya.
"Mommy." Isaknya memeluk punggung beth dari belakang.
Beth menariknya kedalam pelukannya, menciumi kepala bocah itu dengan kasih sayang.
"Kau bukan laki-laki cengeng. Mengerti El?!"
Bocah itu mengangguk dalam dekapan Ibunya. Beth membelai rambut hitamnya dengan lembut.
Eugene diam diam memperhatikan mereka dan baru tersadar jika Elbert adalah Supercopy Ibunya. Mereka begitu mirip. Elbert mewarisi seluruh tampilan Beth secara keseluruhan. Terkecuali warna mata mereka yang berbeda. Mungkin bocah itu mewarisinya dari mendiang Ayahnya.
Tatapan Beth beralih kepada Eugene kembali. Sungguh laki-laki ini tidak tahan dengan tatapan sendu darinya, segala hal yang meruntuhkan egonya ada didalam sana. Bukan hanya karena sisa sisa cinta itu masih ada, melainkan ada sebuah benang halus yang akan selalu menghubungkan hati mereka.
Eugene menarik nafas dan membalas tatapan wanita itu dengan mantap. "Baiklah. Aku akan membawanya bersamaku."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
The Innocent Man
RomanceAvery mendapati dirinya terluka akibat cinta pertamanya. Sementara disaat-saat terpuruknya, tidak ada satupun anggota keluarga yang menopangnya. Membuat gadis itu frustasi dan memutuskan untuk pergi jauh meninggalkan keluarganya dan membangun hidup...