Aku duduk di pinggir jalan komplek perumahan mewah tempat ibuku bekerja sebagai buruh cuci. Sejak pagi hingga menjelang sore, ibu menghabiskan hampir seluruh waktunya dengan bekerja di rumah orang-orang kaya, begitu aku menyebut mereka. Rumah besar, mobil dan motor berjajar di garasi, taman kecil dengan bonsai, mawar, anggrek dan bunga- bunga lain yang tidak kuketahui namanya. Yang kamar mandinya saja lebih besar dari kamar tidurku.
Tak pernah ada keluh kesah walaupun wajah ibu tampak begitu letih. Sambil menenteng jerigen yang berisi air bersih, ibu keluar dari pagar salah satu rumah besar tadi. Ibu memang mengambil pekerjaan di tiga rumah yang berbeda. Aku lekas berdiri menghampiri, sengaja tidak menyusul masuk, khawatir lantai teras rumah orang kaya itu terkotori oleh sandal jepit lusuhku." Sini, biar Rani yang bawa Bu " kataku, mengambil alih jerigen air di tangan ibu.
" Sudah lama nunggu ibu ? Odi mana ?" tanya ibu sambil menatap sekeliling mencari anak bungsunya.
" Odi main perosotan di taman sana " Aku menunjuk ke arah taman di dekat kolam air mancur yang terletak di tengah- tengah perumahan. Adikku tampak berlarian naik dan turun dari perosotan. Dia melihat kami, lalu segera berlari menyusul untuk pulang bersama. Ibu selalu pergi pulang berjalan kaki, motor peninggalan bapak sudah lama rusak setelah kecelakaan, ibu tak punya uang lebih untuk membawanya ke bengkel. Rumah kami cukup jauh tapi sungguh tak terasa lelah tiap langkah kami yang diselingi cerita dan tawa adikku. Ibu juga menceritakan tentang pekerjaan ibu dan apa saja tingkah polah yang dilakukan anak pemilik rumah itu selama ibu menyetrika pakaian. Memang tak semua orang kaya itu sombong, tapi dimataku saat itu mereka semua sama. Suka menganggap rendah orang seperti kami. Sungguh salah pemahamanku itu, setelah kusadari dan rasakan sendiri kebaikan hati orang yang bersedia membagi sebagian rezekinya untuk keluargaku di masa depan, padahal aku sudah berprasangka buruk atas mereka.Aku sering kesal karena orang- orang kaya itu merebut waktu ibu bersama kami, tetapi bila ibu tidak bekerja bagaimana bisa membiayai hidup dan sekolah kami ? Sedangkan untuk makan sehari- hari saja susah. Kami bisa makan 3 kali sehari sudah sangat bersyukur meski hanya dengan lauk kerupuk. Beberapa kali saat ibu tak punya uang, kami hanya makan nasi dengan kecap dan garam. Aku sangat mengerti kondisi keuangan yang begitu memberatkan ibu, karenanya aku tak pernah meminta apapun padanya. Syukurlah ada tanah peninggalan kakek yang bisa dibangun rumah kecil di atasnya untuk kami tinggali. Tidak ada listrik, bila malam kami hanya memakai penerangan lampu minyak yang asapnya bisa membuat lubang hidung menghitam dan mata terasa perih bila kami belajar atau mengerjakan PR malam hari. Air untuk mandi dan mencuci pakaian kami ambil dari sumur dekat rumah, karena itu ibu selalu membawa jerigen untuk diisi air PDAM dari rumah orang kaya untuk memasak dan kami minum.
Disekitar rumah kami masih berupa hutan sebelum sebagiannya sudah mulai diratakan untuk proyek perluasan perumahan. Selama menunggu ibu pulang bekerja, biasanya aku dan Odi pergi ke hutan untuk mencari buah-buahan yang bisa dimakan. Hewan berbahaya yang cukup sering kami temui hanya ular dan biawak. Kami bermain lumpur, memancing di aliran sungai kecil, berenang, sampai hampir sore lalu kembali ke rutinitas menjemput ibu pulang. Terkadang ibu membawa lauk yang diberi oleh pemilik rumah, bapak - orang kaya - yang cukup baik, jadi kami bisa merasakan makan enak sesekali. Entah seperti apa dulu kakek mengasuh ibu seorang diri hingga ibu menjadi orang tua tunggal yang begitu kuat, pantang mengeluh apalagi menyerah. Bapak meninggalkan ibu saat aku masih kelas 4 SD. Kecelakaan itu mengakibatkan bapak koma selama seminggu namun akhirnya meninggal dunia. Sejak itu, kedua kakak laki-lakiku diasuh oleh saudara tertua ibu. Hanya aku dan adikku yang masih ikut ibu.
Kupandangi wajah lelah ibu, senyum tetap terukir disana saat melihat kami makan dengan lahap. Ibu mengajarkan kami bahwa hidup adalah perjuangan dengan mengandalkan diri sendiri, jangan menaruh harap kepada orang lain dan selalu bersyukur. Ingin sekali aku membahagiankannya walau di usiaku saat itu yang mampu kulakukan adalah menjaga adikku dan belajar mandiri selama ibu mencari nafkah menggantikan peran bapak.*******
Ribuan kilo jalan yang kau tempuh
Lewati rintang untuk aku anakmu
Ibuku sayang masih terus berjalan
Walau tapak kaki
Penuh darah penuh nanahSeperti udara
Kasih yang engkau berikan
Tak mampu 'ku membalas
Ibu
IbuIngin kudekap
Dan menangis di pangkuanmu
Sampai aku tertidur
Bagai masa kecil duluLalu doa-doa
Baluri sekujur tubuhku
Dengan apa membalas
Ibu
Ibu( Lirik lagu Iwan Fals, Ibu )
KAMU SEDANG MEMBACA
Memories of Boarding School
General Fiction"Seharusnya aku tetap belajar dengan sungguh-sungguh disana, agar tak mengecewakan beliau yang sudah membiayai sekolahku sampai lulus. Tapi rasa itu hadir begitu saja, susah payah kulawan pun, cinta itu bertahan bahkan sampai kami tidak pernah berte...