lembar pertama

40 4 2
                                    

Hai! Namaku Aleena Arabella Griseldis. Mungkin namaku terdengar cukup asing. Teman-teman sebaya ku memanggilku "Ale" arti dari namaku adalah "seorang wanita yang cantik, bijaksana, dan juga merupakan seorang petarung abu-abu". Mungkin anak-anak diluaran sana banyak yang memiliki nama akhiran dengan marga ayahnya, sedangkan aku tidak. "Griseldis" dalam arti Belanda adalah petarung abu-abu. Abu-abu memang bukan warna yang terang. Dari nama akhiran yang aku miliki, memiliki arti yang tersirat bahwa aku merupakan seorang petarung dalam kegelapan. Tapi aku percaya, kehidupanku pasti akan seterang warna-warna dari pelangi yang selalu aku lihat dikala hujan reda. Aku lahir di Den Haag, Belanda 17 tahun yang lalu. Aku merupakan gadis blasteran Indonesia-Belanda. Ibuku asli Bandung, sedangkan ayahku Belanda totok. Saat usiaku menginjak 5 tahun, ayah memutuskan untuk pindah ke Indonesia dengan alasan ayah sudah mendapatkan pekerjaan sesuai dengan keinginannya. Dan akhirnya aku tinggal bersama Ema dan Abah dari ibuku di Bandung. Ayah jarang menemani disaat aku membutuhkannya. Karena saking sibuknya, satu bulan sekali saja kami sudah bersyukur ayah bisa pulang ke Bandung. Ayahku seorang pekerja keras, dia bekerja di teknik kelautan yang setiap harinya harus ke lapangan. Semuanya berjalan sangaaat indah. Apalagi saat Ayah pulang kerja. Sangat terasa kehangatan dari perhatian yang ayah berikan kepada keluarga kami, tentang ibu yang selalu memaknai pentingnya arti sebuah pelukan, senda gurau yang selalu menjadi pemanis saat ngobrol di ruang tamu yang ditemani dengan keripik emping buatan Ema sungguh melengkapi arti dari sebuah kebahagiaan yang sesungguhnya. Karena bagi keluargaku, kebahagiaan itu diciptakan bukan dicari-cari. Tidak terasa usiaku menginjak angka 10 pada saat itu. Kehilangan sosok Abah memang berat bagi kami. Apalagi bagi Ema dan ibuku. Tetapi tidak bagi ayah. Setelah kepergian Abah, semuanya terasa berbeda. Ayahku menjadi seorang yang pemarah, kasar dan tidak ada lagi sosok kehangatan dalam dirinya. Bayangkan saja, aku yang baru berusia 10 tahun harus mendengar dan menyaksikan secara langsung pertengkaran ayah dan ibuku setiap hari. Setiap ayah dan ibuku bertengkar, aku selalu menangis sejadi-jadinya. Aku pun bingung, sebenarnya apa sumber masalah dari semua ini? Yang aku tahu, kemarin ayah dan ibu sedang baik-baik saja. Ibu yang selalu mencoba jadi air tatkala ayah mengamuk bak api yang sedang membara tetapi Ibu selalu gagal. Emosi ayah tidak pernah padam. Dari sana lah aku tertarik akan "memiliki kehidupan sendiri" aku sangat senang saat melihat "Sunset" di langit Pasir Impun, Bandung. Ketika aku melihat sang mentari yang sedang berpamitan perlahan akan berpulang ke peraduannya, rasanya semesta pun turut campur dalam rasa yang aku alami saat itu. Ketika Senja yang berada di pelukan cakrawala sedang memadu menjemput rembulan sebagai perhiasan sang malam, langit seakan-akan berbicara kepadaku, mengajarkan bahwa segala sesuatu harus dijalankan dengan ikhlas bagaimanapun keadaannya, dan keindahan tidak melulu tentang yang datang di awal saja. Buktinya senja, senja memiliki keindahan yang begitu menakjubkan tetapi datang pada waktu yang tepat. Tidak lama setelah itu, ayah dan ibuku resmi berpisah. Ayah meninggalkan kami berdua tanpa rasa bersalah, tanpa rasa ingin memperbaiki hubungan yang lebih baik lagi dengan ibu, tanpa rasa kasihan kepada ku yang menjadi korban ditengah keegoisan ayah sendiri. Mungkin Den Haag merupakan "Jalan Pulang" bagi Ayah. Dan kami berdua gagal menjadi "Rumah" untuk tempat berteduh, tempat berlindung, tempat mencurahkan segala keluh kesah ayah kepada kami. Tentang perpisahan ibu dan ayah, aku sama seperti anak broken home diluaran sana. Memang aku belum bisa menerima secara ikhlas sepenuhnya. Aku masih belajar dari keikhlasan senja. Ketika sang mentari yang tidak pernah membenci keadaan karena sinar nya yang harus tergantikan dengan hadirnya Bulan di kegelapan malam, tetapi ia tetap terbangun di pagi hari dengan penuh harapan. Aku belajar untuk menerima, belajar untuk memaafkan keegoisan mereka berdua, memaafkan keadaan yang cukup menyulitkan, dan tetap melanjutkan kehidupan walau tanpa adanya Ayah di sisiku. Kelahiran bukan keinginan kita, dan kematian bukan kehendak kita, tapi kehidupan merupakan sebuah pilihan. Aku bahagia, karena mau bagaimanapun juga kehadiranku pernah menjadi satu-satunya alasan ayah dan ibu tersenyum bahagia.
Di setiap langkah yang aku ambil, aku menjalani nya dengan penuh keikhlasan. Usiaku memang masih sangat muda saat itu, tapi bukankah kedewasaan tidak diukur oleh usia? Ibuku selalu mengajarkan bahwa segala sesuatu yang telah Allah tetapkan adalah hal yang paling terbaik untuk umat-Nya. Begitupun kisah kami berdua, kami sebagai hamba yang luput akan dosa selalu meminta pada-Nya agar selalu diberkahi disetiap langkah yang kami berdua tuju, untuk mencapai Ridha-Nya.

Senja Pun Mengerti Caranya "Berpamitan"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang