"Kamu udah bangun?" Tanya Topan padaku lewat telepon. Aku melirik jam dinding dikamarku. Pukul enam lebih lima belas menit. Hari ini hari sabtu. Tepat satu minggu satu hari aku menjadi pacar Topan. Jantungku masih berdebar tak karuan kalau membayangkan saat itu.
"Udah dong. Kalau belum bangun, aku nggak bakal ngangkat telpon kamu." Aku menjawab sambil menyunggingkan senyum.
"Sia, aku kangen." Ucap Topan lagi. Ia memang sedang keluar kota. Ada acara keluarga yang akhirnya membuat kami tidak bisa merayakan malam minggu pertama kami sebagai sepasang kekasih.
"Ih! Kamu baru sehari disana udah kangen aja." Jawabku sambil mengubah posisi tidurku.
"Serius. Emang kamu nggak kangen sama aku?"
"Nggak!" Jawabku cepat. Padahal ingin sekali aku berkata sebaliknya. "Lagian kan besok kamu udah pulang."
"Kalau akunya nggak pulang-pulang?"
"Aku susulin kesana."
"Yakin? Emang berani?"
"Hahaha. Enggak lah. Aku bakal nungguin kamu disini."
"Aku juga nggak bakal buat kamu nunggu lama, kok." Ucap Topan. Aku mengigit pelan ujung jempolku sambil tersenyum sumringah.
"Ya udah. Aku matiin ya? Aku dipanggil sama mama mertua kamu soalnya." Lanjut Topan kemudian.
"Hahaha. Ya udah."
"Dadah, sayang!" Kata Topan. Di panggil sayang oleh Topan membuatku tersipu malu. Aku menutup mata dengan telapak tanganku. Entah apa faedahnya. Padahal Topan sama sekali tidak berada disini. Jatuh cinta memang bisa membuat seseorang seperti orang gila.
"Iya." Jawabku singkat.
"Iya apa?"
"Ih, apaan sih. Malu tau!"
"Masa sama pacarnya sendiri malu sih?"
"Ya udah. Iya pacar. Dadah." Aku langsung mematikan telepon. Jantungku sudah tidak kuat jika harus terus bicara.
"Apaan pacar-pacar?!" Suara Bang Arsya mengagetkanku. Ia sedang berdiri didepan pintu kamarku. Entah sejak kapan ia berada disitu.
"Hah? Enggak kok, Bang! Abang salah dengar kali!" Aku mengelak panik. Rasanya belum siap kalau Bang Arsya harus tau sekarang. Dari awal, aku memang hanya menceritakan tentang hubunganku dengan Topan pada ibu dan Tita. Perlu waktu yang tepat untuk bicara jujur pada abangku itu. Dan aku pikir, ini bukan waktu yang tepat.
"Abang udah dari tadi disini. Nggak usah bohong." Sahut Bang Arsya ketus. "Siapa, Sia? Topan?" sambungnya.
Aku menelan ludah. Ini masih terlalu pagi untuk diinterogasi. Bingung harus mulai dari mana.
"Iya, Bang," kataku sambil menundukkan kepala. Tak berani melihat wajah Bang Arsya.
Bang Arsya tak menjawab. Ia terdiam sejenak lalu pergi. Aku tahu dia pasti marah. Kecewa karena aku tidak mengindahkan nasehatnya.
"Sia, Arsya kemana?" tanya Ibu yang sekarang gantian berdiri didepan pintu kamarku.
"Nggak tahu, Bu. Tadi nggak bilang."
"Kamu kenapa? Masih pagi kok mukanya udah kayak gitu?"
"Tadi dibangunin Bang Arsya, makanya bete. Ibu lagi ngapain?" Aku beranjak dari tempat tidur, mengikuti Ibu yang pergi menuju dapur.
"Nih barusan selesai buat kue. Nanti kamu anterin ke rumahnya Daniel yah! Sekalian ngembaliin tupperware punya Tante Laras."
"Kok aku sih? Kenapa nggak Bang Arsya aja?" Aku menolak. Terlalu malas untuk keluar rumah rasanya. Selain itu, aku juga mau telepon Topan. Diawal pacaran ini, rasanya aku terus merindukan sosoknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
ASIA.
Non-FictionBanyak yang bilang move on itu bukan tentang melupakan, tetapi mampu bersikap biasa saja jika mendengar namanya atau mengingat kenangannya. Setidaknya, itu yang dipikirkan Asia tentang perasaannya sendiri. Move on dari seseorang yang dicintainya sel...