Tiga

25 3 4
                                    

Setelah kejadian malam itu, untuk pertama kalinya aku memilih menghindar dari kegiatanku sebagai organisator. Mulai dari berkumpul rutin sampai mangkir rapat. Jujur saja meski setelah dua minggu berlalu aku masih mengingat dengan sangat jelas sosok wanita yang menggangguku di lantai tiga gedung kampus yang tepat dibelakang gedung rektorat ini.

Untuk mengalihkan pikiranku yang makin tak terkendali dengan hal-hal diluar nalar, aku menyibukkan diri untuk bergabung dengan teman satu jurusan. Mulai nongkrong di kantin, mantengin wifi perpus, sampai berburu thread diskon sampai gratis ditempat makan fastfood di mall samping kampus. Sejenak batin ku mulai tenang dan emosiku stabil.

Tapi itu tak bisa berlangsung lama, karena akupun memiliki tanggung jawab di organisasi yang telah aku pilih sebagai penyalur minat. Agenda yang telah dibuat sebelumnya mengharuskanku turut mengambil peran sebagai panitia dalam kegiatan pendidikan dan pelatihan atau diklat organisasi bagi calon anggota baru, dan mau tidak mau itu pun mengharuskan kami menginap di kampus selama beberapa hari. Meski dengan rasa paranoid yang masih menyelimuti, aku memutuskan untuk ikut serta dalam bagian. Setidaknya aku tidak akan sendiri bukan? Disini aku mendapat tanggungjawab sebagai divisi koordinator lapangan. Percayalah, badanku meng-kaku seketika saat mendengar keputusan tersebut. Tapi apa boleh buat.

***

Kamis ini seluruh panitia berkumpul untuk melakulan briefing di sekre dan mematangkan susunan kegiatan dari awal hingga akhir. Kami menggunakan dua kelas dikoridor utara paling pojok gedung ini untuk tempat beristirahat para calon anggota, hal ini bertujuan untuk meminimalisir bocornya skema acara yang dibuat tim divisi acara kepada calon anggota baru. Setelah semua persiapan matang, tepat pada pukul tiga sore acara pembukaan diklat dimulai dengan sambutan oleh rektor kampus dan dilanjutkan dengan kegiatan yang kebanyakan diisi oleh materi-materi jurnalistik lainnya.

Karena jumlah panitia yang tak terlalu banyak, itu mengharuskan kami berjalan hanya satu sampai dengan dua orang per divisi. Termasuk korlap yang notabenenya harus terus bergerak mobile di sekitar lokasi kegiatan memastikan semua berjalan sesuai arahan ketua pelaksana. Kebetulan aku dan putri ada divisi yang sama hanya putri memegang dua job sekaligus sebagai dokumenter acara.

Tepat pukul 11 malam setelah peserta diarahkan untuk beristirahat, aku dan putri memilih duduk di kursi kayu bulat di pinggir jendela dekat tangga sambil memakan beberapa camilan hasil penjarahan kami pada peserta. Aku sesekali menengok kearah koridor untuk memastikan bahwa tidak ada peserta yang keluar ruangan atau bahkan kabur dari area kampus.

"udah sih diliatin terus, paling udah pada molor anak-anaknya"

Putri bicara padaku seolah-olah kesal karena aku masif menengok kesamping untuk mengecek keadaan di koridor.

Takutnya belum pada tidur put, nanti aku yang diomelin puji kalo ketauan

Jawabku jujur seraya mengambil kamera DSLR dari tangan putri berniat untuk melihat hasil jepretannya selama kegiatan tadi.

"santai lah kaya di pantai, mending fotoin gue git"

Aku duduk di depan putri yang membelakangi tangga bersiap untuk memotretnya yang sudah bergaya sekeren mungkin meski minyak diwajahnya sudah tak terkendali. Saat aku memotret hasilnya sangat gelap karena memang lampu koridor yang sudah dimatikan sebagian,

"yang bener dong git, sekali lagi. Tapi pake flash biar agak terang kaya akhlak gue"

Aku bersecak malas mendengar penuturan putri namun tetap mengikuti keinginannya menggunakan flash yang ada pada kamera supaya gambar lebih jelas. Setelah aku membidik dengan fokus aku pun memotretnya dengan cekatan, flash pun mengkilat seketika membuat putri sempat kaget dan menghasilkan gambar putri dengan mata yang terpejam,

Hahahah muka lo teler banget put, kaya abis makan puyer

"sialan lo, ulang-ulang"

Hahaha ini cocok nih kalo dijadiin meme buat di majalah kampus,

Aku membidik sekali lagi kearah putri yang sudah bergaya dengan dua jari di samping pipinya, namun saat aku menekan tombol shoot untuk memfokuskan kamera yang dengan otomatis menyorotkan cahaya merah pada objek foto alias putri, aku melihat sosok perempuan yang sedang mengintip di balik tembok yang menuju ke toilet lantai ini. Itu berada beberapa meter di belakang putri, sial tanganku reflek bergetar saat menyadari hal tersebut dan memaksa putri menepuk pundakku untuk menyadarkan lamunanku.

"kenapa sih git, buruan dong pegel nih"

Mungkin salah liat, atau bias kamera, atau orbs,

Sebisa mungkin aku kembali fokus dan memberikan penjelasan-penjelasan logis tentang sosok tadi

Kedua kalinya aku kembali membidik dan langsung memotret putri tanpa mengatur fokus pada wajah putri. Dan saat aku melihat hasilnya, astaga



Deg..



Aku melihat seorang wanita dengan gaun merah sedang berdiri disamping putri, kulitnya yang pucat dan rambutnya menjuntai hingga sebatas pinggang bahkan mengenai pundak temanku putri. karena tak tahan aku berdiri dan menarik lengan putri agar kembali ke ruangan panitia dengan dalih bahwa baterai kameranya habis agar putri tak menyadari hal yang baru saja terjadi membuatku ingin menjerit. Jalan menuju ruang panitia harus melewati tembok toilet tersebut, dengan sekuat tenaga aku hanya menatap lantai sambil mempercepat langkahku.

***

Setelah pagi menjelang, aku adalah orang terakhir yang bangun diruang panitia. Otakku masih memutar kejadian semalam yang aku alami sampai rasanya kepalaku pening. Menyadari aku yang hanya melamun dengan wajah pucat dan terus mengurut pelipisku yang berkeringat dingin kak fiana mengecek keadaanku sambil memberiku roti dan beberapa obat yang kuyakini ada paracetamol didalamnya.

"git? Udah mendingan? Kamu mending istirahat aja. Ko gak bilang kalo kamu sakit? Padahal kemaren masih biasa-biasa aja"

Aku hanya tersenyum simpul mendapat perhatian dari kakak tingkatku yang memiliki karakter asli sangat receh ini, ternyata dia juga sangat lembut

Gapapa kak, cuma kecapean doang. Gaenak sama yang lain kalo aku gak bantuin kerja

"yaudah kamu abisin roti sama obatnya, abis itu kamu ke toilet buat cuci muka. Biar agak seger"

Setelahnya kak fiana pergi meninggalkanku dengan kekehan melihat keadaanku yang berantakan. Malu rasanya. Namun satu hal yang membuatku badanku kembali menegang, mendengar ucapan kak fiana yang menyinggung soal toilet membuat kegelisahanku kembali muncul.

Akhirnya aku memutuskan untuk memberanikan diri pergi ke toilet agar bisa membersihkan diri. Jangan mengira aku pergi ke toilet lantai tiga yang semalam, aku dengan penuh keyakinan bahwa aku lebih memilih pergi ke toilet ruang dosen di lantai satu. Menghiraukan tatapan aneh dari panitia yang lain karena melihat penampilanku yang berantakan serta berlarian dari lantai tiga sampai ke lantai satu seperti orang gila, setidaknya itu lebih baik karena toilet ruang dosen nyaman dan terang.

***

S

udah siap,

Aku memoles wajahku dengan riasan tipis setelah mandi dan mengganti baju dengan kaos yang lebih nyaman dirangkap kemeja UKM dengan perasaan sedikit lebih baik. Aku berniat kembali ke lantai tiga untuk mengecek kondisi disana, namun lagi-lagi aku merasa ada sepasang mata yang sedang mengawasiku saat hendak menaiki tangga. Aku terdiam dan sesekali menengok kearah bawah basement yang gelap, namun tak menemukan apa apa. Setelahnya aku melanjutkan perjalananku menaiki tangga dan mencoba menutup mata untuk hal-hal ganjil yang kualami. Namun nihil, baru saja empat anak tangga yang ku naiki, aku melihat sepasang kaki itu lagi sedang bergelayut di tepi pagar besi pembatas dilantai tiga. Ia mekakai baju putih dengan wajahnya yang tertutup rambut namun aku yakin bahwa ia sedang tersenyum melihatku.

Seketika aku menunduk dan merutuki kesialan ku akhir-akhir ini

Ini masih siang bajingan!!!

Aku mengumpat dalam hati karena merasa benar-benar frustasi,

Tapi tunggu, ia berbeda dengan sosok yang menakutiku saat aku tidur di sekre tempo lalu dan juga yang semalam di samping putri..

Dia di lantai 3 [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang