SEPULUH

18 5 0
                                    

Hari terus berlalu, terus seperti itu. Ibunya yang rutin pulang pagi terus menerus membuat Kirana sedikit khawatir, tapi kekhawatiran itu lebih besar pada Adiknya. Adiknya kerap bertanya pada Kirana, “Ibu pergi kemana si Mbak? Kok pulangnya pagi terus?”. Kirana yang tidak tahu apa yang dilakukan Ibunya hanya bisa memberikan jawaban-jawaban penenang pada Adiknya, “Ada keperluan mungkin Dek”.

Semejak kejadian waktu itu Kirana resmi tidak ingin memikirkan lagi terkait Ibunya, yang harus dia pikirkan saat ini adalah ujian sekolahnya yang sudah semakin dekat dan juga adiknya yang beberapa bulan lagi harus masuk sekolah. Itu adalah dua moment penting bagi Kirana saat ini.

Kkrriiiinnngggg ……

Bel pulang sekolah berbunyi, Kirana bergegas merapihkan barang bawaannya kedalam tas. Tidak sedikit pun ia memerdulikan teman-temannya yang asik bersenda gurau sambil pulang sekolah. Yang harus Kirana lakukan saat ini adalah bergegas menuju tempat kerja dan segera pulang memasakkan makanan untuk Adiknya.

Sudah satu bulan lebih Kirana menggiati aktivitas ini, dia mulai terbiasa dengan semuanya. Bangun pagi untuk masak, pergi ke sekolah dan mengerjakan hukuman nulis lima lembar akibat telat, hingga harus langsung ketempat kerja selepas pulang sekolah.

Semua Kirana lakukan tanpa sedikit pun mengeluh. Ia sadar, semua ini dilakukan untuk sebuah masa depan. Masa depan dia dan Adiknya.

Dari penghasilannya bekerja di Laundry, Kirana akhirnya bisa mencicil utang Ibunya sedikit demi sedikit. Dia juga menyisihkan uangnya untuk keperluan sehari-hari, untuk makan dan untuk jajan Adiknya. Sementara itu, Ibunya lebih sering lagi pergi dari rumah. Entah apa yang dilakukannya, semua masih tanda tanya untuk Kirana.

Hari ini Kirana mengambil semua sisa paket cucian di Laundry, sehingga dia harus pulang cukup larut sekali malam ini. Tak apa, setidaknya dia berhasil membuat Adiknya tetap semangat dan ceria.

“Pak, sisa paket laundry hari ini sudah saya selesaikan semua. Saya pamit pulang ya, Pak?”

“Oh iya, wah cepat sekali kerjamu Nak. Saya yakin orang tua kamu akan bangga sama kamu. Tetap semangat ya, besok jangan telat datang.” ujar Paman Amanda pada Kirana.

“Terima kasih Pak, saya pamit,” Kirana melangkahkan kakinya keluar menuju jalan raya, menunggu angkutan umum untuk ditumpanginya sampai gang depan rumah.

Tidak butuh wakut terlalu lama Kirana sudah sampai dan bergegas menuju rumahnya. Sampai di depan rumah Kirana menarik nafas dan membenahi penampilannya yang nampak kusut. Ia tidak mau Kano melihatnya seperti itu, tidak ingin Adiknya melihat bahwa ia sangat kelelahan saat pulang setiap harinya seperti ini. Setelah rapih, Kirana membuka pintu rumahnya perlahan dan masuk dengan tenang. Dia berharap Adiknya sudah tertidur didalam kamar, karena Kirana kasihan melihat Adiknya terus menunggu dia pulang setiap hari.

Ckreek!

Dibukanya pintu kamar oleh Kirana, ternyata harapannya tidak terkabul. Adiknya masih terjaga menunggunya sambil membaca komik dikamar.

“Eh, Mbak udah pulang.”

“Iyaa, Kano kok belum tidur, Dek?”

“Belum bisa kalo Mbak Kiran belum pulang,” ucap Kano dengan datar dan polosnya.

Kirana tahu betul, sebenarnya Adiknya itu sudah mengantuk namun ingin tetap kuat didepan Kakaknya ini. Sungguh sebuah pematik semangat bagi Kirana di kondisi seperti ini. Sebab itulah Kirana sangat menyayangi Adiknya ini, sayang sekali.

Kirana mendekati Adiknya yang terduduk dikasur, mengecup keningnya hangat dan mengelus lembut rambutnya.

“Sekarang kamu tidur ya, Mbak mau bersihin badan dulu. Nanti Mbak menyusul, ya.” ucap Kirana lembut.

“Iya Mbak” jawabnya sambil menaruh komiknya dan meraik selimut untuk tidur.

Kirana bergegas menuju kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya. Setelah itu, diapun merebahkan tubuhnya. Pikirannya melayang-layang dilangit-langit kamar, semua hal-hal penting dalam hidupnya akan segera tiba. Sungguh Kirana tidak menyangka akan menghadapi itu semua tanpa sosok pahlawan seperti Bapak.

Lintang AksamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang