☆Bismillahirrahmanirrahim☆
Saudaramu yang setiap kali bertemu mengingatkanmu tentang nasibmu dihadapan Allah, itu lebih baik. Daripada seorang saudara yang setiap kali bertemu meletakkan satu dinar ditelapak tanganmu.
~Hilyatul Auliya' 5/225~
🍁🍁🍁🍁🍁
"Waalaikumsalam," jawab umi yang masih terjaga di samping ranjang.
Aku penasaran dan mencoba untuk membuka mata perlahan. Yang pertama kali ku pikirkan mereka adalah orang yang ku kenal, tidak salah lagi dia yang tadi menolongku saat kecelakaan, menjengukku dengan ibunya umi Zainab. Dia laki-laki ramah yang selalu menampakkan senyuman. Menurut orang terdekat dialah yang selalu disebut sebagai 'sahabat kecilnya Sabila', Rahman Naufal Abdullah meskipun aku tidak mengingatnya, tapi aku menerimanya sebagai sahabat yang baik.
"Hai Sabila? Bagaimana keadaanmu sekarang?" tanya umi Zainab ketika menghampiriku.
"Alhamdulillah umi, sudah baikkan. Terima kasih kak Rahman, ini juga karena kak Rahman yang menolongku," jawabku, sambil melihat kak Rahman.
"Itu bukan karena saya, tapi karena Allah menggerakkan hati saya untuk berjalan ke jalan yang sama yang dilalui olehmu, dan Allah juga yang membuat saya tergerak untuk melihat kecelakaan itu," jawab kak Rahman mantap seraya ditemani senyumannya yang khas.
Aku hanya bisa terdiam mendengarkan penjelasannya, dan tidak ada niat untuk menjawabnya lagi karena bagiku itu sudah cukup.
Ruangan ini kembali hening sejenak, sampai umi mengeluarkan suaranya. "Rahman terakhir kamu bertemu Sabila itu waktu kamu akan pindah ke pondok kan? kalau tidak salah umurmu 6 tahun ya dan Sabila 3 tahun."
"Iya umi, sudah lama sekali. Wajar saja kalau Sabila lupa, waktu itu dia masih terlalu kecil,"
"Iya benar, umi masih ingat saat Sabila menangis seharian karena akan ditinggalkan kamu ke pondok. Sampai-sampai kamu harus menunda keberangkatan dan menemani Sabila untuk bermain bahkan menginap karena tidak di bolehkan pulang," ucap umi seraya menatapku dengan ekspresi geli.
"Hahaha ..." Semua yang ada di ruangan pun tertawa karena mengingat peristiwa itu, dan aku hanya bisa menarik selimut sampai menutupi rona merah pada pipi karena malu.
"Eh iya, Sabila tau gak? ada yang lebih parah loh dari kamu, Rahman ini baru aja satu hari di pondok dan dia nangis sama pak kyai minta pulang katanya mau ketemu kamu, bahkan waktu gak di kasih izin pulang, dia pura-pura sakit supaya bisa pulang dan ketemu kamu," Ruangan pun kembali riuh dengan tawa karena ucapan umi Zainab, namun kali ini berbeda aku ikut tertawa dan yang sedang menanggung malu hanya tersenyum saja.
"Bahkan Rahman ini memaksa supaya kamu ikut ke pondok juga dan dia bersedia dengan mantapnya akan menjagamu, awalnya kamu mau tapi orang tuamu terlalu khawatir karena kamu masih kecil, dan dengan terpaksa kamu menuruti orang tuamu," Umi Zainab kembali mengulas masa lalu tentang aku dan kak Rahman yang membuat ruangan ini lebih hidup.
"Ah benarkah? Sedekat apa aku dan kak Rahman umi?" tanyaku dengan pandangan ingin tahu.
Lalu umi Zainab menjawab pertanyaanku dengan sabar. "Kamu dan Rahman itu sangat dekat, bahkan kamu dipaksa tinggal bersama di rumah kami, Rahman menganggapmu sudah seperti adiknya sendiri, saat di rumah Rahman selalu kesepian karena dia anak satu-satunya, berbeda denganmu yang memiliki dua kakak, dan saat kamu datang dia merasa ada teman tidak kesepian lagi, makanya waktu dulu dia tidak mau jauh darimu. Rahman selalu rela berbagi apapun denganmu, dulu dia sangat menyayangimu layaknya kakak menyayangi adiknya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Kekasih Halal di Bumi Cordoba (TERBIT)
General FictionCerita ini bermula ketika aku bertemu dengan laki-laki yang bernama Alif Harun, yang kemudian mengubah kehidupanku. Dia sosok sempurna bagi sebagian kaum hawa, diantaranya Aku. Hari-hari bersamanya membawa banyak rasa yang baru, mungkin ... rasa cin...