19. Sebuah keraguan

1.9K 141 9
                                    

"Lho Mba Nissa, itu anaknya?" Tanya Tante Rosa, tetanggaku yang merupakan ketua sosialita komplek ini.

     Aduh, kenapa harus keliatan segala? Gimana aku ngejelasinnya? Bakal percaya enggak ya kalau aku jelasin yang sebenarnya. Lagipula aku jelasin yang sebenarnya pun, Tante Rosa pasti akan melebih-lebihkan saat pertemuan sosialita komplek.

     "Eh Tante Rosa, udah lama enggak keliatan." Sapaku berusaha untuk menghindar dari pertanyaannya.

     "Siapa?" Bisik Pak Arden, namun aku hanya menyenggelnya sedikit, memberitahunya untuk diam.

     "Iya nih, kamu udah nikah kok enggak cerita-cerita? Udah punya anak aja. Sejak kapan?"

     Aku berusaha tersenyum, meski sepertinya tampak begitu canggung. Dan bisa-bisanya disaat seperti ini aku malah teringat pertemuan resmi pertamaku dengan Pak Arden di starbucks. Untuk menghindari pertanyaan yang tidak ingin aku jawab, sepertinya aku selalu tersenyum canggung yang menggelikan.

     "Enggak kok Tan, ini Pak Arden teman Kakak saya. Ini anaknya, namanya Evyna."

     "Ohh, temannya Leo. Kenalin, saya Rosa tetangga sebelah yang di depannya ada mobil warna hitam." Tante Rosa menjulurkan tangannya untuk bersalaman dengan Pak Arden, dengan sopan Pak Arden pun membalas salamannya.

     "Arden Prasetyaji. Saya temannya Leo." Ujar Pak Arden dengan singkat.

     "Kalian enggak ada apa-apa?" Tanya Tante Rosa, "Enggak enak dilihat lho, kalo ada anak gadis berduaan aja sama laki-laki. Apalagi laki-laki beristri, kalau dilihat sama orang yang kalian kenal gimana?"

     Gimana? Yang jelas akan jadi riweh terutama ketemunya dengan tante-tante rempong macam Tante Rosa! Aduh, aku mau cepat-cepat tidur di kasur dan main ponsel saja...

     "Saya sudah tidak punya istri, ini juga baru jam setengah delapan belum malam-malam sekali." Jawab Pak Arden dengan tenang.

     Aku nyaris saja lupa kemampuan bersilat lidah beliau oke juga.

     "Ooh, selera kamu yang duda-duda begini Mba Nissa?" Tanya Tante Rosa berusaha menggoda kami.

     "Eh, Tante, saya cuman nemenin Pak Arden aja hari ini. Bukannya ada maksud tertentu!" Jawabku setengah panik.

     "Oh, iya-iya, Tante percaya." Jawabnya yang juga setengah hati.

     Tante Rosa terdiam sesaat, kemudian Pak Arden meminta Evyna dari tanganku. Beliau dengan sangat hati-hati memindahkan tubuh gadis kecil itu ke dalam mobil. Kemudian menutup pintunya namun membiarkan jendela setengah terbuka agar mudah mengawasinya.

     "Ngomong-ngomong, Pak Arden berarti masih kuliah? Atau baru lulus? Dari kampus mana?"

     "Saya dari kampus xx di Bandung-"

     "Oooh, anak saya juga kuliah di sana. Sama kayak Leo, kan? Anak saya lagi di dalam tuh, kebetulan lagi libur kuliah. Arden semester berapa? Eh, saya panggil Arden enggak apa-apa, kan? Soalnya kamu sepertinya dekat-dekat usianya dengan anak saya."

     "Lho, Kak Putri jadi kuliah di Bandung?" Tanyaku yang segera dijawab penuh semangat oleh Tante Rosa.

     "Iya, dia lulus jalur SBM. Ya karena dia pintarnya luar biasa, normal aja sih begini. Ngomong-ngomong Arden semester berapa?"

     "Saya dosen yang mengajar di sana."

     "Eh, gimana-gimana?"

     "Saya dosen di Universitas xx."

Ninetynine of Hundred Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang