PENA DALAM SKETSA

1.1K 20 0
                                    

“24, 23, 22, 21.. Aku menghitung langkahmu. Langkahmu menuju diriku. Dirimu bersama diriku pada sebuah keabadian. Akulah dirimu yang sedang rindu dalam sketsa.” ~ Derryl

Sepasang kakiku menyeret langkahku untuk menepi sejenak. Di trotoar sesak ini, matahari tengah bersemangat di pagi hari. Berulang kali tanganku terangkat untuk menyeka peluhku yang mulai membasahi dahi hingga menetes di bajuku. Aku berdiri di jajaran para penyeberang jalan ini. Suasana sibuk menjadi atmosfer di pagi ini.

Langkahku mulai pertama menyeberangi jalan ini sambil mengangkat buku-buku di tanganku. Kakiku menuntunku untuk tiba di kampus lebih pagi, hingga setibanya hanya segelintir orang yang kudapati. Namun, tidak saat setibaku di kelas pertama pagi ini.

Duduknya bermalas-malasan di kursi, matanya menerawang ke depan, sementara berulang kali dirinya menghela napas. Langkahku masih tertuntun sebelum diriku terduduk di kursiku. Karena jengah didapatinya sedari tadi, dirinya tersentak berdiri dan menghampiriku.

Belum sempat aku sejenak tenang untuk duduk, kepalaku terdongak untuk menatapnya yang mulai geram dan menahan sebuah amarah.

“Siapa pria yang kau temui kemarin?” tanya Reyn tiba-tiba.

“Apa maksudmu?” tanyaku berbalik tanya kepadanya, tak mengerti maksudnya.

“Di kafe, sore kemarin. Siapa pria yang di hadapanmu?” tanyanya lagi, mulai mendetail.

Cinta pertamaku.”

Diriku hanya membungkam diam, entah apa yang harus kujawab. Mataku mencari-cari sebuah jawaban yang pasti. Aku tak bisa mengatakan yang sesungguhnya tentang Derryl. Namun, Reyn telah melihatnya sebelum hari kemarin. Dirinya hanya mengabaikan itu begitu saja, namun sekarang entah apa yang ingin membuatnya peduli.

“Apa pedulimu?” tanyaku berbalik geram padanya.

“Aku peduli. Tapi bukan padamu. Seseorang berbaik hati untuk menyadarkanku, aku peduli padanya.” jawabnya yang semakin membuatku bingung.

“Aku tak mengerti. Apa sebenarnya maksudmu?” aku mengernyit kebingungan.

“Seorang lain mencintaimu. Tapi kau mencintai orang lain itu.” jelasnya sambil berlalu dari hadapanku.

Aku tak bisa mencegahnya untuk pergi, karena aku tak punya sebuah alasan untuk menghentikannya. Apa maksudnya tentang perkataannya tadi? Siapa lagi yang mencintaiku?

Suara ketukan pena yang beradu pada meja semakin lantang begitu kelas menjadi hening. Beberapa mata sesekali melotot ke arahnya, namun seakan dirinya belum juga sadar. Pikirannya melambung pada sebuah perkataan seseorang.

“Payung hitamnya adalah milikku, aku yang memberikan itu padanya. Dan aku mencari sesuatu yang sama dengannya, dan sekarang aku memilikinya.”

Dibantingnya pena merah di tangannya itu hingga memantul di lantai. Langkahnya tergesa untuk meninggalkan kelas. Dan aku hanya mampu memandangi punggungnya yang menjauh.

Belum sempat langkahku ingin beranjak meninggalkan kelas. Tanganku terulur untuk memungut pena merah itu. Pandanganku terarah pada pintu, membayangkan sang empunya benda itu pergi dengan rasa yang masih tertinggal. Kepalaku tertunduk menuruni tangga ini, sambil menggumamkan pelan langkahku.

Lalu kakiku mulai menuntunku untuk menepi di lorong ini, menyandarkan sejenak tubuhku pada pilar dari batu bata merah yang mulai ditumbuhi lumut ini. Pikiranku terus berkelana, menjelajahi waktu untuk hadir di hari kemarin.

Mataku sejenak terpejam, sebelum suara gemuruh kecil dan deru di atap membuatku untuk berjaga. Dengan cepat tanganku merogoh tas untuk mencari benda yang sedang ada dalam pikiranku. Gerimis kecil mulai menjelma menjadi hujan, pikiranku pun mulai menjelma menjadi panik. Hujan tiba-tiba ini mampu mengubah suasana hatiku.

Sketsa Rindu untuk HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang