LCDP X - Hegemoni

71 1 0
                                    

Cerita ini diikutsertakan ke lomba LCDP X dalam rangka ulang tahun LCDP ke-10, baca cerita lainnya di eliteralcdp.wordpress.com

Di rumah sempit ini aku lahir dan dibesarkan. Dari bata kering dan rekatan pasir emas kampung kami. Aku masih ingat ayah mencoretkan arang-tiga-jari di dahiku saat doa tengah malam. Aku ingat racau saudariku yang selalu meminta perhatian. Aku ingat saudara lelakiku yang jahil tapi selalu melindungiku selaku adik perempuannya. Aku ingat kanun pahlawan yang dinyanyikan ibu tiap petang.

Rumah yang kecil, tapi kami berbahagia di dalamnya.

Suku Ansul memang tidak punya kampung berbanjar-banjar bercampur kubur macam Danur, apalagi kembara selamanya di bahtera-bahtera putih yang membelah awan seperti Gungke. Kami bukanlah suku yang kaya. Sebelum leher kami berada di bawah injakan terompah Singkirterang pun, kamilah yang terbawah diantara ketiga suku Hegemoni.

Pada satu hari penuh kemalangan, panji-panji hitam datang, bergambarkan elang jelaga. Aksara yang kelak akan diguratkan pada prasasti-prasasti kemenangan menjelaskan nama yang tertera di sana, nama yang akan dibenci sebegitu dalamnya oleh orang-orang dari pantai-pantai Haseni sampai pegunungan Taufan.

Singkirterang.

Danur jadi yang pertama ditaklukkan. Pantas, sebab merekalah saudara tertua dalam Hegemoni. Bahkan memanggil tulang-tulang leluhur untuk urun bertempur pun tidak cukup untuk menggugurkan banyaknya prajurit Singkirterang. Gungke pun senada, bahtera terbang tak banyak gunanya jika Musuh—kami selalu menganggap Singkirterang sebagai pembawa kiamat dalam nubuat, dan dengan begitu pula seteru abadi— punya naga yang bisa mengarungi angkasa dan menyemburkan api di saat yang sama.

Ansul jadi yang ketiga. Kami mempersiapkan tombak bulu merah kami, dedukunan dengan jampi paling kuat yang dimiliki, anak dan istri memohon mengangkat tangan ke angkasa. Kami melawan dengan tiga hal: baja, mantra, dan doa.

Akhirnya tetap sama: kami melawan dan jatuh pula pada akhirnya.

Kami harus memuji nama Kaisar dalam upacara yang berlangsung tiap pagi, kami harus menangkupkan tangan untuk berterimakasih padanya sebelum makan. Kami harus rela anak pasangan atau orang tua sewaktu-waktu diambil untuk kepentingan negara, kami harus merobohkan berhala-berhala kuno mengganti semua dengan rupa abadinya. Jayalah namanya, dan kedatangan ini membawa banyak hal.

Ilmu mantra, pengobatan, barang mewah yang tak pernah kami lihat, dan tentu saja, lebih banyak peperangan. Mereka membawa racun dan hadiah, walau racunnya selaut sementara hadiahnya secuil. Obat tak ada gunanya kalau lumbung-lumbung kami kosong-melompong, mantra untuk apa kalau kami tak punya tenaga dan bakat untuk merapalnya, sutra bagus atau gading besar tak berguna karena tak ada yang kuasa untuk membelinya.

Di masa kalut tanpa satupun yang luput ini, ayah dan ibu selalu membangunkan kami anak-anaknya di tengah malam. Saat tak ada tetangga yang melihat, saat pengamanan dari gardu Singkirterang tak berkeliling. Kami patuh sebagai anak, toh perut melilit membuat kami mudah terjaga. Arang tiga jari dilukiskan pada dahi, kami disuruh mendongak, berdoa pada rembulan. Atau bintang. Atau langit. Atau apa saja yang ada di atas sana.

"Tolong, datangkan pahlawan agar terang dapat kembali ke dunia."

Selalu. Setiap hari. Aku mengerti kalau orangtuaku membenci Singkirterang. Tapi, aku tak mengerti kenapa ayah dan ibuku bersujud setiap petinggi lewat desa kami dengan panji hitam mereka, sama seperti orang-orang pada umumnya. Aku tak mengerti kenapa ayah menyumpah tiap mendengar bahwa petugas pajak akan datang, tapi menjamunya kala dia sampai di depan pintu. Aku tak tahu mengapa ibu berlutut mohon ampun pada siang hari tapi mengutuk dengan kanun di waktu malam.

Bukankah ... itu hal yang bertolak belakang?

Jujur, aku tak memikirkannya terlalu dalam. Itu dulu terlalu rumit bagi bocah berumur enam tahun sepertiku.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 17, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

LCDP X - HegemoniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang