Sepulang dari kuliah, Geri tidak langsung pulang kerumah, melainkan mampir kerumah Risa. Sesuai dengan janjinya kemarin, ia akan jujur mengenai perasaannya sendiri.
Geri mengetuk pintu kayu tersebut. Ia sudah mengetuk pintunya tapi tidak ada jawaban dari sang pemilik rumah. Ia pun bertanya-tanya dalam hati. 'Kemana kah pemilik rumah?'
Ia melihat jam dipergelangan tangannya. Jam menunjukan pukul lima sore. Rumahnya nampak sepi, sudah banyak daun-daun yang mengotori halaman rumahnya. Seperti rumah yang sudah tidak berpenghuni.
Saat Geri masih sibuk mengetuk-ngetuk pintu rumah Risa, ada salah satu wanita paruh baya berbicara pada Geri. "Nak... yang punya rumahnya sudah pindah."
Ia masih tidak mengerti dengan ucapan si ibu. Merasa masih penasaran, Geri mendekati wanita tersebut. "Kalau boleh tahu mereka pindah kemana ya, bu?"
"Mereka pindah ke malang, mas ini cari siapa, ya?"
Lamunan Geri buyar saat si ibu bertanya pada dirinya. "Saya lagi cari Risa, bu."
Wanita itu hanya manggut-manggut mengerti. "Oh temannya neng risa, ya."
"Mereka udah lama pindahnya, bu?"
"Sudah sebulan mereka pindah,"
Geri merasa bersalah lagi. Seharusnya ketika ia berjanji pada dirinya sendiri secepat mungkin ia bisa berbicara sebentar pada Risa, tapi sebulan belakangan ini ia mengejar tugas agar secepatnya selesai. Tapi, kali ini ia terlambat lagi.
"Yaudah bu kalau begitu makasih atas infonya." wanita tersebut mengangguk. "Iya mas sama-sama."
Pandangannya kosong. Kali ini hidupnya seperti dipermainkan oleh semesta. Ia kembali kehilangan cintanya. Separuh jiwanya sudah pergi. Ia harus melakukan apa agar bisa bertemu dengannya?
Langkahnya pun mulai pelan. Ia berhenti berjalan, memilih untuk beristirahat dibangku taman yang nampak ramai. Banyak anak kecil yang sedang bermain, Geri hanya memandangnya dengan pikiran yang kosong.
Ia membuka ponselnya kemudian memilih menelfon Risa. Tapi nomor telfon Risa sedang tidak aktif, membuat Geri menghela nafas sabar.
Geri masih berharap pada wanita yang sudah menempati hatinya sejak saat dibangku SMA. Ia tidak boleh menyerah begitu saja, yang ia lakukan sekarang belum seberapa kalau dibandingkan apa yang sudah dilakukan oleh Risa. Akhirnya, ia memilih untuk pulang dengan motor maticnya menuju rumah.
Karena sesungguhnya rumah yang paling nyaman sudah pergi. Dan ia telat menyadarinya.***
Tin,
Tin,
Tin,
Suara klakson motor sama sekali tidak menyadarkan wanita yang sedang berjalan sambil melamun. Napasnya begitu cepat saking kagetnya setelah kejadian yang membuat nyawanya dipertaruhkan. Lagi-lagi ia ceroboh dengan dirinya sendiri.
"Kalau mau bunuh diri gak gini juga!"
Risa tersentak kaget saat pemuda tersebut membentak dirinya. "Gak usah bentak-bentak sih!"
Pemuda itu mencoba untuk menetralkan hatinya yang sempat kesal melihat wanita yang sedang berada dihadapannya. Ia mencoba untuk membawa wanita tersebut ketempat yang lebih aman, tidak dijalan seperti saat ini.
"Elo udah gila ya? Kalau lagi ada masalah bisa diselesaikan secara baik-baik. Gak kayak cara yang lo lakuin tadi."
"Gue tahu kalau yang gue lakuin tadi tuh emang salah, tapi gue benar-benar gak tahu kalau bakal jadi kayak gini, Devan." Laki-laki yang berusaha menyelamatkan nyawanya itu bernama Devan, yang tak lain teman kuliahnya Risa.
Devan mengelus dadanya. "Gue pikir lo bakalan mau mengakhiri hidup lo," Risa terkekeh. "Ya enggaklah, gue masih pengen hidup."
"Lo mau pulang atau mau mampir ketempat lain?"
Risa menoleh. "Gue mau istirahat, Van. Gue duluan, ya." Devan mencegah kepergian Risa dengan memegang salah satu tangan Risa. "Kalau boleh gue yang anter lo, ya?"
"Nggak!" Devan mengerutkan dahinya. "Tumben lo gak mau dapet tumpangan gratis?"
Tak lama kemudian Risa tertawa. Entah apa yang sedang ia tertawakan membuat Devan menjadi bingung. "Enggak mau nolak maksudnya."
Sesampainya diparkiran, Devan memberikan helm pada Risa. Wanita itu menerima pemberian dari sang pemilik helm. "Van," panggil Risa.
Devan sempat menoleh kebelakang yang hanya sekilas. "Kenapa?"
"Emangnya lo kira tadi gue mau ngapain?" Mengingat kejadian tadi membuat dirinya semakin penasaran sama jawaban Devan. "Gue kira lo mau bunuh diri, Ris."
Risa meninju pelan bahu Devan. "Eh tapi makasih udah mau selamatin nyawa gue, kalau lo gak narik tangan gue tadi pasti gue udah dibawa kerumah sakit." Diakhir ucapannya ia tertawa, sedangkan Devan hanya dibuat geleng-geleng kepala melihat tingkah laku temannya ini. Cukup aneh, tapi ia sayang.
Sore itu, mereka berdua pulang bersama dan selama dalam perjalanan pulang mereka masih bisa membuat kisah hingga tawa mereka mengundang banyak perhatian. Mungkin ini salah satu cara yang bisa Devan lakukan agar Risa tidak terlalu sedih untuk melupakan masa lalunya.
***
Tolong hargai dengan memberikan vote dan comment ^_^
Happy reading♡
KAMU SEDANG MEMBACA
GERISA [END]
Teen FictionNote: Mohon maaf apabila ada kesalahan dalam penulisan. Cerita ini belum di revisi. "akan ada saatnya aku pergi." mencintai dan mengagumimu selama 2 tahun.sungguh,tidak mudah.itu semua karna dirimu aku bertahan. hatinya sangat sulit ditaklukkan.ia...