"Kak, di panggil Bia sama Baba disuruh ke ruang tengah."
Aku diam tak merepson apapun ucapan Bimaa. Aku mematikan laptop.
"Kak, lo denger kan? Cepetan!"
"Bacot lo, Bimaa!"
"Bulan bacot!" Teriaknya.
"BIMAA ALEEANDRA!"
Aku keluar kamar dengan rasa kesal. Berani-beraninya Bimaa menyebut namaku tanpa embel-embel kakak. Aku tidak suka Bimaa bersikap tidak sopan pada orang yang lebih tua darinya terutama padaku.
"BIMAA ALEEANDRA! DIMANA KAMU!"
"Bia, kakak nyeremin!"
Aku melihat Bimaa duduk diantara Bia dan Baba. Tangannya memeluk lengan Bia dan kepalanya disembunyikan dibalik punggung Bia. Terlihat sekali kalau Bimaa itu anak yang sangat manja. Aku duduk disamping Baba dengan tanganku terus menarik tangannya. Bukannya terlepas, tangannya beralih memeluk Bia.
"Ba, Bimaa tuh songong. Dia panggil aku enggak pake kata kakak." Aduku pada Baba sambil menunjuk arah Bimaa.
Baba menyentil paha Bimaa. "Minta maaf sama kakakmu!" Ujar Baba membelaku.
"Kakak bohong tuh. Aku panggil kakak pake kakak kok, emang kakaknya aja yang budek."
"Tuh, Ba. Denger sendiri kan. Bimaa itu enggak sopan."
"Minta maaf sama kakakmu, atau Bia diemin kamu." Bia mulai mengancam, dan itu sangat ampuh.
Bimaa melepas pelukannya pada Bia. Ia mendengus kesal lalu menatapku tajam. Tatapannya sama seperti Bia menatap Baba kesal. Ketahuilah bahwa keluargaku atau siapapun yang melihat tatapan Bimaa selalu mengatakan Bimaa mirip dengan Bia. Hal itu membuat semua keluargaku mengatakan kalau Babaku sangat mencintai Biaku.
"Kak Bulan, aku minta maaf. Janji enggak songong lagi." Ucapnya terdengar tak ikhlas dengan tangannya mengulur padaku.
"Kalo enggak ikhlas enggak usah, Bim."
"Tuh kan Bia, emang kakaknya aja yang mau aku dimarahin." Decaknya dengan tangannya memukul pahaku.
"Dasar anak kecil."
"Dasar iblis."
"Ckk..."
"Kalian tau kan, kalo Bia seneng liat kalian selalu debat atau berantem kayak begini. Bia liat kalo kalian itu saling peduli satu sama lain. Bia selalu berharap kalian akan selalu saling menyayangi satu sama lain." Ujar Bia setiap melihat aku dan Bimaa bertengkar. "Apalagi saat dulu Bia tau kalo Baba kalian itu punya saudara kembar, perempuan lagi saudaranya. Buat Bia makin iri aja karena enggak pernah ngerasain punya saudara kandung."
"Udah Bia, enggak usah mancing-mancing bikin melow." Sahutku tak pernah suka melihat Bia sedih.
"Tuh kak, harusnya lo bangga punya saudara kayak gue. Lo tau kan, gue itu ganteng, pinter, banyak yang suka. Lo harus bangga kak." Ujar Bimaa dengan tingkat kepedeannya.
"Sifat kepedean lo tuh nurun dari siapa sih, Bim?"
"Dari Baba lah, kan ya, Ba?" Baba hanya diam dengan mata menatapku jail. Aku pun tertawa.
"Ha ha ha Baba aja enggak setuju." Ledekku.
"Bia, Baba tuh enggak sayang aku ya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Tinggal Kenangan
Teen FictionIni kisahku di 10tahun lalu, semasa aku masih menjadi remaja labil. Tentang cinta pertama yang tidak pernah aku rasakan sebelumnya. Sebelum mengenalmu--- Aku pernah patah hati, tetapi tidak pernah sesakit karenamu. Aku pernah bahagia, tetapi aku ing...