8. Diaz dan Diaz.

819 51 3
                                    

Masih dihari yang sama saat Aileen ditegur oleh salah satu guru di sekolahnya. Perbedaannya hanya terletak pada jam saja. Jika tadi dijam istirahat, saat ini dijam belajar.

Suasana di dalam ruang kelas ribut karena guru yang masuk belum datang.

"Aileen."
"Ini daftar piket mu."

"Hah? Oh, iya." Aileen menerima selembaran dari Sari-siseksi kebersihan. Aileen menatap ulang selembaran itu.

"Jadi hari Senin, gue bersihin lapangan, Rabu ruang guru, dan Sabtu aula?" Aileen menatap selembaran tersebut.

Sari mengangguk sambil menarik selembaran yang dia berikan kepada Aileen.

"Kalo piket kelas gimana?" Aileen kembali menarik selembaran yang berisi jadwal piket teman sekelasnya dari tangan Sari. Dia menatapnya kembali.

"Nggak ada. Kamu aku tambahin di piket luar kelas aja. Kalo kelas, udah di atur kelompoknya." Sari menjelaskan.

Aileen mengangguk paham. Artinya namanya diselipkan dipiket luar kelas karena piket di luar kelas memang agak susah karena wilayah yang dibersihkan lebih besar. Tetapi piketnya tidak hanya dari satu kelas saja.
Semisal, membersihkan aula. Bisa saja nanti ada tiga sampai empat kelas di sana.

"Tapi kok ada yang aneh, ya?" Aileen sedikit menemukan kejanggalan dalam selembaran itu.

"Aneh kenapa?" Sari jadi penasaran.

"Kok gue jadwalnya samaan mulu sama si Diaz?" Aileen sedikit tidak terima dengan hal itu.

"Lah? Emang kenapa? Kalian berdua 'kan akrab." Sari jadi kebingungan sekarang.

Aileen tampak menghela napas. Diaz dan Vira juga berbalik badan dan menatap Aileen yang terlihat seperti orang tak punya harapan hidup.

"Emang kenapa Leen?" Vira bertanya karena dia mendengar percakapan Sari dan Aileen.

"Gini ya. Kalo satu piket juga sama si Diaz. Itu namanya defenisi melihat muka si Diaz tiap detik." Aileen mengomel.

"Emang kenapa? Si Diaz 'kan ganteng. Banget malah." Sari malah dengan beraninya melontarkan pujian di depan Diaz.

"Nah, tau tuh. Sarap lo udah rusak kali." Diaz menarik hidung Aileen.

"Bangsat!" Aileen mengumpat sambil mencubit punggung tangan Diaz yang menarik hidungnya.

"Pagi sama Diaz. Belajar di kelas di belakang Diaz. Pulang dan main sama si Diaz. Kadang malam si Diaz tidur di rumah gue. Ya, lo pikir aja sendiri. Diaz, Diaz, dan Diaz." Aileen mengomel.

"Gue traktir ke ind*omaret nanti pulang sekolah." Diaz tiba-tiba menyela.

"Betul nih? Bebas ngambil 'kan?" Seperti orang tidak tahu malu, nada berbicara Aileen langsung berubah 180°. Yang semula mengomel, ngotot, dan nyolot berubah menjadi penuh kelemah lembutan.

"Dih, nggak tau malu." Vira berucap ketus.

"Bodo amat!" Aileen tak ambil pusing.

"Jadi gimana ini piketnya?" Sari bertanya.

"Udah setuju dia. Gitu cara bujuknya." Bukan Aileen yang menjawab, melainkan Diaz.

Wajah Sari langsung berubah menjadi ekspresi tidak percaya.
"Betul nih Leen?"

"Iya. Gue setuju aja kok." Aileen mengangguk-angguk.

"Jangan heran. Dia mata duitan." Vira memberikan penjelasan. Sari mengangguk paham lalu beranjak pergi dari tempatnya untuk duduk di tempat duduknya.

"Nggak tau malu, lo Leen!" Vira mencibir.

"Bodo amat!"

●●●

AILEEN (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang