Ada yang berbeda untuk tranfusi kali ini, Baylor bukan hanya ditemani Dewi, melainkan juga ditemani oleh sang papah. Bimo mengendari mobil dengan kecepatan standar, sesekali pria itu melirik pada Baylor yang duduk di belakang lewat kaca depan.
Baylor asyik pada dunianya sendiri, yakni mendengarkan alunan musik di kedua telinganya sembari menyandarkan tubuhnya dengan santai. Ia terpejam sebentar ketika musik berada di bagian menyedihkan, benar-benar menghayati isi dari lagu tersebut.
Andai Baylor memiliki garis keturunan seorang musisi, entah sudah berapa banyak lagu yang ia tulis untuk menceritakan kisah hidupnya. Sayangnya, sekadar membuat cerpen di pelajaran Bahasa Indonesia saja Baylor kewalahan. Apalagi menulis lirik lagu.
Bimo berdehem sebagai tanda memanggil putranya, tapi ia jelas tidak kedengaran.
"Jangan diganggu, Pah," ujar Dewi.
Akhirnya perjalanan itu tak bernyawa karena sama sekali tidak ada percakapan. Keheningan yang mereka ciptakan, sejatinya hanya menyesakkan. Manusia-manusia ini kenapa? Bukankah mereka adalah keluarga?
Tepukan pelan di pipi Baylor membuat lelaki itu mengerjap berulang kali. Ia menyesuaikan penglihatannya yang belum begitu jelas.
"Nyenyak banget kamu tidur, Bay." Suara lembut Dewi yang pertama kali masuk ke pendengaran Baylor, ia pun menoleh dengan kedua alis yang tertaut sempurna.
"Udah nyampe, Mah?" tanyanya seraya melepas earphone.
Dewi mengangguk, sedangkan Bimo yang sudah lebih dulu turun menegur mereka dari kaca mobil untuk segera keluar.
Satu injakkan di tanah, Baylor mematung. Dunianya seolah berputar. Tubuhnya terasa lemas, bahkan kedua kakinya sulit untuk diajak berjalan.
Orangtua lelaki itu sigap menuntun putra mereka, dengan Bimo di sebelah kiri, dan Dewi di sebelah kanan. Lengkap untuk membantunya berjalan, tapi Baylor tetap merasa tubuhnya seperti melayang.
"Cubit Baylor, Mah, Pah. Biar sakitnya pindah," ujar lelaki itu pelan.
Dewi tidak kuasa melihat ini. Begitu pun dengan Bimo, tubuhnya mendadak digerogoti rasa bersalah. Ayah macam apa yang anaknya sedang sakit malah meninggalkan untuk pergi bekerja dalam waktu yang cukup lama? Harusnya, Bimo selalu di samping purtranya, memberi Baylor sandaran ketika terpuruk.
Sebelumnya mereka sudah mengurus segala keperluan, jadi Baylor langsung dituntun menuju ruang tranfusi darah. Salah satu perawat menyambut Baylor dengan menggantikan posisi Dewi, sedangkan Bimo tetap ikut masuk ke dalam.
Baylor diminta bersandar di kursi atau berbaring di ranjang, ia memilih untuk bersandar saja. Bimo dipersilakan menunggu di luar, meski berat meninggalkan putranya sendirian (lagi).
Dokter tersenyum tipis untuk meyakinkan Baylor bahwa semuanya akan baik-baik saja. Sebenarnya tidak ada yang Baylor takutkan, hanya saja ia lelah dengan semua ini. Ruangan serba putih, bau obat yang menyeruak, dan sekantung darah seakan menjadi benda primer dalam hidupnya.
Pertama-tama, dokter menusukkan jarum ke pembuluh darah di sekitar lengan lelaki itu. Jarum tersebut dihubungkan dengan kateter atau awamnya disebut selang tipis yang tersambung pada kantong darah. Darah pun dialirkan dari kantongnya menuju pembuluh darah.
Pada limabelas menit awal, Baylor dipantau untuk memastikan ada atau tidak adanya alergi yang terjadi.
"Persediaan darah dari mana ini, Dok?" tanya Baylor, tidak mungkin kan ia hanya diam untuk berjam-jam ke depan.
"Ini dari UTD. Sangat kebetulan sekali, ya," jawab dokter.
"Tipe apa, Dok?" tanya Baylor lagi, semata-mata mengusir rasa bosannya.
Dokter juga tampak tidak keberatan kalau Baylor bertanya-tanya.
"O minus, setelah crossmatch hasilnya alhamdulillah memuaskan," tutur dokter dengan raut wajah bahagia.
Baylor mangut-mangut. Waktu terus berjalan dan tak terasa sudah satu jam berlangsung. Tidak ada tanda-tanda alergi apa pun, dokter mempercepat prosesnya.
Tranfusi PRC berlangsung sampai selesai. Setelah itu, dokter mulai melepas selang. Baylor mendapat pengecekkan tanda vital terlebib dahulu, seperti, denyut jantung, tekanan darah, hingga suhu badan. Dan semua normal.
"Baik, saudara Baylor sudah dipersilakan pulang." Dokter kembali tersenyum, sementara itu Baylor diantar sampai depan oleh perawat.
Dewi dan Bimo menyambut dengan peluk hangat. Baylor tidak bisa berkutik, ia juga nyaman dipeluk seperti ini.
"Papah mau ajak anak papah jalan-jalan dulu, yuk!" ajak Bimo setelah merenggangkan pelukannya.
"Enggak usah, Baylor mau pulang. Capek," tolak lelaki itu kasar.
Ia berhasil lepas dan berjalan duluan. Setidaknya Baylor bisa menahan agar uang yang sudah Bimo cari mati-matian tidak dihambur-hamburkan begitu saja. Walau sebenarnya, ia juga sudah lama tidak refreshing. Mentok-mentok warpat dan rumah Restu. Mungkin, tempat yang cocok bagi Baylor cuman rumah sakit, ya?
Ia membanting pintu mobil dengan cukup keras, menimbulkan suara yang mengundang perhatian sekitar.
"Bay," ujar Dewi memberi peringatan dari nada bicaranya.
Baylor memutar bola matanya malas, "Bodo amat."
Menyadari papahnya yang tengah berbincang dengan orang asing, Baylor memberanikan diri untuk bicara pada mamahnya. Jujur, kalau ia mati penasaran gimana? Lebih baik ia tanya sekarang.
"Mah," panggil Baylor, "mamah udah cerita sama papah?"
Dewi mengernyitkan kening, "Cerita apa?" Entah benar-benar tidak tahu atau pura-pura tidak tahu.
"Cerita apa lagi kalau bu--"
"Maaf, papah habis ngobrol-ngobrol dikit sama orang. Kayaknya seru, lagi pada ngomongin apa nih?" Bimo datang di waktu yang salah, Baylor mau tidak mau harus mengurung pertanyaannya.
Dewi menjawab suaminya, "Tahu nih, Baylor. Kamu mau ngomong apa tadi, Nak?" Atensi Dewi kembali kepada Baylor.
"Gak jadi," sahut lelaki itu frustasi.
Perjalanan pulang, tidak sehening saat berangkat. Bimo inisitaif menyetel radio sejak tadi. Yang membuat Baylor malas, Bimo menolak untuk mengecilkan volume suaranya. Padahal Baylor telah memasang earphone untuk menyumpal telinganya, tapi suara radio dan lagu malah bertabrakkan di telinga lelaki itu.
Alhasil, Baylor mendengar radio dengan seksama. Membuka telinganya untuk mengetahui situasi di luaran sana.
Assalamualaikum wr. wb// Selamat siang sobat karib / buat kamu yang lagi beraktivitas/ lagi santai/ ataupun yang lagi di perjalanan// Senang rasanya Bams bisa kembali hadir menemani kamu/ tentunya dalam program World of News// Selama satu jam kedepan/ Bams akan mengisi pendengaran kamu dengan berbagai informasi terbaru dan menarik/ yang pastinya sayang bila kamu lewatkan// Dan juga akan ada lagu- lagu yang akan menemani kamu beraktivitas hari ini// Ya/ informasi pertama datang dari dunia olahraga tapi sebelum mendengarkan informasi pertama/ ada baiknya kita mendengarkan satu buah lagu dari Tulus-Manusia Kuat/ so/ check it out//
*ada di mulmed*
Sobat karib/ masih di 109.7 dan tentunya masih dalam program World of News// Sobat karib Informasi pertama untuk anda datang dari dunia olahraga//
Baylor mematikan radio tersebut sendiri dari jangkauan tangan yang ia panjangkan.
"Baylor gak suka denger berita, cuma nambah-nambahin pikiran doang," ujar Baylor sebelum kedua orangtuanya bertanya.
Tak terasa, mereka sampai di rumah sedikit lebih cepat. Ia segera turun dan membuka kunci, tidak ada lagi tempat selain kamar untuk menghabiskan waktu libur.
Baru saja satu pijakkan pada tangga, Bimo menyeru, "Istirahat yang cukup, Bay. Kita mau keluar sebentar, kalau ada apa-apa telepon aja." Suara bariton tersebut menggema satu ruangan, tapi telinga Baylor seolah menolak untuk mendengarkannya.
Ia menaiki setiap anak tangga, hingga di pijakkan terakhir ia menarik napas kuat-kuat. "Gue harus bertahan, gue harus jadi Manusia Kuat."
🌠Bersambung
Stay terus ya❤
KAMU SEDANG MEMBACA
Baylor [Completed]
Teen FictionBEST RANK : #3 literasiindonesia 21 Juni 2020 #1 literasiindonesia 6 Juli 2020 Baylor itu enggak bakal main-main kalau ada orang yang berani ngusik kehidupannya. Dia itu sosok yang susah ditebak, bahkan dirinya sendiri juga masih bingung. Sama bing...