Clair De Lune

157 27 12
                                    

Denting jam menghempaskanku dari ilusi singkat yang telah membawaku berkelana ke dalam palung penuh buih.

Aku tersentak mendapati fakta bahwa rumahku telah sepi. Aku bahkan tidak menyadari kapan kiranya teman-temanku yang tadinya berdalih’menjenguk sahabat’ telah kembali ke tempat dimana mereka seharusnya berada.

"Akhir-akhir ini aku terlalu sering melamun", ujarku mengasihani diri sendiri.

Ku pindai setiap detail sisi kamarku, barang kali mereka meninggalkan makanan siap santap. Karena jujur saja, perutku mulai berteriak liar menuntutku untuk memenuhi kebutuhan primernya. Namun yang kudapati hanyalah — nihil. Tidak ada apa-apun.

“Sialan”, umpatku.

Aku masih berbaring dan melanjutkan aktifitas scanningku ke arah yang berlawanan. Aku menengok ke sisi samping tempat tidurku hingga tepat netraku menangkap properti persegi panjang 2 x 4 milikku. Pigura merah berhiaskan batu beril yang mengintip dari bilik buku-buku seni kontemporer.

Seakan melambai dan memohon untuk ku sentuh. Ku paksakan tubuh lemahku berjalan menghampirinya.

“Ah shit”, umpatku untuk kesekian kalinya.

Jarak 6 meter ternyata mampu membuatku merasa seperti pria yang tidak berguna. Ku abaikan rasa nyeri yang semakin menjalar di sekitar perutku.

Masih tersisa jarak sekitar satu setengah tangan orang dewasa. Ku coba untuk meraih pigura itu dari tempatku berdiri. Ku gigit bibirku mencoba menahan rasa sakit yang semakin meronta hingga terdengar bunyi—

Pyarrr

Pigura itu terlempar ke lantai. Menelantarkan batu beril kesana kemari, meluluh lantakkan kaca hingga tak berupa dan menindih sang puannya. Foto usang.

Ku raup yang tersisa, mengabaikan perut yang kian tak bertoleransi. Ku ambil salah satu baru beril yang tergeletak tidak jauh dari kakiku. Tiba - tiba alunan musik memenuhi ruangan.

Aku tersenyum menyadari sumber musik itu berasal.

Aku berdecak kagum, “Gadis cerdas”.

Benda berwarna biru pucat itu sukses membuat neoronku saling berdebat. "Dari mana dia mendapatkan batu beril yang dilengkapi dengan teknologi secanggih ini? Aku bahkan telah menyimpannya lebih dari 9 bulan tapi tak tahu menahu akan hal ini".

"Dasar bodoh", rutukku dalam hati, masih dengan menarik sudut bibirku.

Suasana hatiku bak komet yang dalam sekejap berpindah tempat. Dengan senyuman yang menolak enyah, ku sambar foto usang yang menampakkan potretku bersama gadis mungil berhidung mirip Jane Austen, sastrawan era Victoria. Kami berdua sedang berpose melompat berlatarkan penjara alumunium yang menjulang setinggi hampir 50 kaki dengan bentuk yang mirip benang wol, tapi dalam versi makronya — tentu saja. New York Clearing, begitu Antony Gormley menyebut karya hasil kolaborasinya bersama CONNECT BTS.

Aku bangkit membawa kedua benda itu menuju balkon. Entah kekuatan pahlawan apa yang merasukiku hingga melupakan fakta bahwa aku memiliki luka sayatan yang telah terbentang lebar di bagian perutku. Bahkan jika dimetaforakan, aku tak ubahnya karakter Arpanman, tokoh utama kartun Jepang yang dijuluki sebagai pahlawan terlemah di dunia. Bagaimana tidak? Dia tak memiliki kekuatan super layaknya Batman, Spiderman, dan Ironman. Dia hanyalah pahlawan berkepala roti kacang, yang dengan senang hati memberikan potongan-potongan wajahnya kepada mereka yang membutuhkan.

Aku terus berjalan hingga mencapai pembatas balkon. Ku pejamkan mataku menikmati hembusan angin malam yang terasa lebih menenangkan dari biasanya. Ku biarkan aroma musim gugur menelisik indra penciumanku.

Masih dengan mata terpejam, aku menekan-nekan batu beril mencari permukaan yang timbul. Memuaskan rasa penasaran akan hipotesis singkatku. Tapi, batu buril ini tampaknya memang sengaja dibuat mirip seperti sketsa berlian hingga menyulitkan orang tanpa pengetahuan yang cukup untuk mengidentifikasinya 

Musik yang tadinya mengalunkan lagu House of Cards berhenti tanpa permisi seiring dengan hembusan angin yang kian mengencang, mengguncangkan dedaunan yang memang telah layak untuk gugur.

Dalam sekejap, aku membuka mata. Kudapati gadis berambut pirang tersenyum menatap ke arahku. Gadis itu menyentuh pipiku yang entah sejak kapan telah basah oleh air mata. Ku genggam tangan seputih poselen itu.

“Maaf” ujarku tertahan bersamaan dengan isak tangis yang kian menjadi. 

Seolah ingin ikut andil, musik kembali mengalunkan lagu. Tapi, kali ini hanyalah instrumen sendu karya Debussy bertajuk Clair De Lune. Nada-nada yang mengalun semakin melambat, sengaja mengajakku untuk meluapkan penyesalan, penerimaan diri dan pelepasan raganya.

Aku mengekplorasi singkat keberadaan satu-satunya satelit bumi, yang telah setia memancarkan sinarnya di malam hari.
“Dia disana”, batinku. Kemudian mengalihkan netraku kembali pada gadis dihadapanku.

Aku terus mengucap kata ‘maaf’ meski tetap tak terdengar. Masih dengan senyum tipis yang menghiasi bibir ranumnya, gadis itu menggeleng pelan.

Selama beberapa menit, kita hanya berkomunikasi melalui tatapan mata.

“Aku merindukanmu”, jeritku dalam hati.

Kini matanya memancarkan cahaya biru yang sangat terang, sebagai tanda bahwa dia pun merasakan hal yang sama. Gadis itu kemudian menarik tangannya dari pipiku dan menautkanya ke jari-jariku, mengajakku agar aku ikut serta bersamanya

Sambil berlari lari kecil, dia menyenandungkan sajak puisi atmosferis milik Archille-Claude yang menjadi inspirasi terciptanya melodi Clair De Lune. Dipadupadankanya hingga menciptakan lirik yang pas dengan instrumennya.

Your soul is a moonlight lanscape fair
People with maskers delicate and dim,
That play on lutes and dance and have an air

Dia menghentikan langkahnya secara tiba-tiba membuatku nyaris menubruk punggungnya. Ku pandangi sekitar, aku tersentak entah sejak kapan kita berdua telah berada di atap. Dia kemudian berbalik menghadapku. Menembus retinaku dengan tatapan kosong sambil bersenandung melanjutkan bait ke duanya.

The While they celebrate in minor strain
Triupant love, effective entreprise
They have an air of knowing all is vain,
And though the quiet moonlight their songs rise

Tepat pada kalimat terakhir, aku melihatnya meneteskan air mata meski tetap disertai senyum khas miliknya.

Aku tak bergeming. Tubuhku seakan kebas tanpa rasa. Dalam relung, ingin aku menariknya kedalam dekapanku. Tapi aku tahu benar bahwa aku tak bisa lagi melakukanya.

Pada detik berikutnya, aku melihatnya kini berjalan mundur dengan mata kian memerah karena menahan isak tangis yang entah pada detik keberapa akan pecah.

Dia terus berjalan mundur hingga mencapai tepi atap. Kini aku mengikutinya, mencapainya. Memegang erat tangannya dan membiarkan diriku ditariknya meluncur ke udara kosong.

Sebelum tubuhku mendarat ke tanah, aku melihat bulan dengan senyum terakhinya mengucapkan selamat tinggal kepadaku. Dan yang kulihat selanjutnya, hanyalah kegelapan.

The melancholy moonlight, sweet and lone
That makes to dream the birds upon the tree
And in their olished basins of white stone
The fountains tall to sob with the ecstacy

Unforgettable ScratchTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang