kontémporér

44 3 0
                                    



                  MATAHARI mau pulang, para pribumi menanggalkan sebilah rajutan kain pada seuntai tali di pekarangan rumah. Sebab langit sudah sore, manusia setinggi harga tanah di desa ini memang enggan berjumpa tendas dengan wajah pemilik monopoli sejak puluhan tahun lampaunya. Makanya, jika terdapat pribumi berdarah belanda yang terbuang, akan jadi sasak para warga atas penindasan yang terdahulu di desa. Biasanya, cuma hasil anak haram.

Di penghujung desa sana, masih ada yang saling meraih. Si bocah tanpa baju itu masih berlari. Amboi, cepat sekali. 

Jejak kakinya berseret dengan lumpur kecokelatan di atas bumi. Oi, serat juga kerongkongan itu karena menjerit. Berisik sekali, eh?

Kencang sekali tubuh itu bergerak. Eh, tunggu dulu, memang bocah tanpa baju itu tengah bermain-main? sebab jerit itu meminta ampun. Melolong lembar pertolongan yang gratisan. Cih, mudah sekali bocah itu menunda pertanggungjawaban.

Rupanya, segerombol kepala keluarga bersepatu lunyai itu bernafsu kali mengejar si bocah tanpa baju. Beserta obor dan kayu pada genggaman, dan raut wajah yang nafsu pula. 

Sekotak susu sapi dan roti itu berpindah pada perut si bocah, sih   -----maksudnya, tanpa izin. Maka di sinilah susu dan roti yang larut itu agaknya akan lebur dalam proses yang berbeda. Secara manual. Dengan timpukan kayu para warga, tanpa larut dalam sistematis perut si bocah.


Yah, bocah bertelanjang dada itu memang nakal, sih.


Brukk


Aduh, malang kali! bocah itu terjatuh!


Si pemimpin menarik celana si bocah ke udara, wah, seperti elang yang menangkap kelinci saja. Eh, si bocah itu malah menangis. Ampun, katanya. Ia takut mati. Masih muda, adik-adiknya perlu dinafkahi. 

Mendengarnya, jelas si ketua itu terbahak jadinya. Amboi, lucunya! 

"Kalau takut mati, janganlah kau mencuri!" tawa bapak tua itu menari, meski si bocah gemetar setengah mati. Lihatlah wajah bapak tua yang lain, nafsu kali ingin membuat si bocah supaya mati!


"T-tolong... pak..." aduh, kasihan. lirihan si bocah hanya dipertawakan.


Brukk 


Bukan karena belas kasihan bocah itu dilempar ke tanah kembali, tapi karena mau ditimpuk. Eh, tidak percaya? lihat saja wajah bapak pribumi itu. Nafsu sekali, duh.

Benar kan? tulang rusuk si bocah beradu dengan kayu. Sekali, dua kali, sampai belasan kali. Hingga berhenti sampai kali ke puluhan. Aduh, biru-biru semua. Ada yang hitam, merah, warnanya macam-macam. Tentu si bocah menangis kencang, sakit! sakit! mama! cepat jemput aku ke surga! katanya.

Wah, bapak-bapak itu kan baik hati semua. Diturutilah permintaan si bocah tanpa baju itu. Hidung mancung itu tak lagi berbentuk, berselimut darah saja. Si bocah tak mampu membersit, aduh, hidungnya tak lagi bekerja.

Maka satu kali pukulan, juga yang terakhir kalinya, mendarat pada ulu hati si bocah. Sudah. Tidak bergerak lagi itu tubuh. Mati, eh? si pemukul bermonolog. Bapak tua itu terdiam, masih menatap mayat si bocah di atas tanah.

Pribumi tua yang lain sudah berbalik, acuh saja lah, tak peduli itu tubuh mau diapakan. Biarlah, jadi santapan gagak hitam saja. Hanya berseru kecewa, sebab dendamnya tidak memuaskan.

Si bapak tua yang terdiam tadi, rupanya jadi menyesal. Amboi, malang betul nasib si bocah ini. Memang sengaja bapak itu untuk membunuh si bocah, supaya tidak ditimpuk-timpuk lagi.

Kemudian pribumi tua itu berbalik, melangkah jauh dari tubuh si mayit. Biarlah, biarpun si bocah sudah mati, setidaknya masih bermanfaat bagi si gagak nanti. Ck, malang betul.

Eh, benar rupanya! mulai lah satu burung gagak yang senang kali menatap mayit segar di atas tanah. Paruh tajam itu mematuk, satu, dua, wah, kenyang! lalu temannya yang lain ikut bersantap.




Kemudian kedua mata si bocah itu, membuka.


Dari kejauhan, si bocah menatap si pemukul yang menggeleng. Telinga robek itu mendengar si bapak yang berseru, 


"Peter, jangan mencuri!"









- het einde -

peter, jangan mencuri! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang