.
.
.
Seokjin membeku.
Baru saja memasuki kamar dan berniat segera mandi usai rapat kantor sejak pagi, indera penglihatnya dikejutkan dengan Namjoon yang sedang mematut diri di depan cermin. Sengaja membelakangi, serta baru menengok sejenak berikutnya.
"Hai, sayang. Kok pulang sore?" Namjoon berujar santai, meliriknya sekilas lalu kembali berkutat mengancingkan manset di ujung lengan baju, "Bagian keuangan salah hitung anggaran? Atau dicegat peseta magang untuk dimintai nomor telepon lagi? Dasar anak jaman sekarang, padahal tahu kamu bersuami."
"...........apa maksudnya ini?"
"Hm?"
"BAJU KAMU."
Memasukkan kedua tangan di saku celana, Namjoon tergelak ringan seraya menerangkan, "Kamu ingat soal undangan reuni SMA yang kuceritakan minggu lalu? Wang Jia meneleponku di kantor, dia bilang alumni kelas kami sepakat memakai seragam sekolah untuk kejutan. Jadinya aku menyetir sebentar ke rumah Ibu dan minta ijin mengobrak-abrik kamar. Mujur setelannya tersimpan rapi di loteng atas. Coba lihat, masih cocok tidak?" tanya pria berusia kepala tiga tersebut, merentangkan tangan demi menunjukkan badge komite kebanggaannya beserta tagar nama di dada kiri, "Aku bahkan mengecat rambutku jadi putih seperti dulu. Hitung-hitung nostalgia saat kita pertama bertemu di kompetisi antar sekolah."
Seokjin masih membeku.
Kemeja putih, celana hitam, dasi bergaris, sepatu kets yang tampak baru dibeli, juga rambut cepak terpangkas di atas telinga. Satu kancing atas dibiarkan terbuka seperti gaya bandel Namjoon lima belas tahun silam, sengaja memamerkan tonjolan jakun di lehernya yang kekar. Memori Seokjin seolah dibawa kembali pada sosok remaja bengal yang setia menunggu di gerbang demi melempar gundukan kelopak bunga ke arahnya. Senyum serupa dan wajah yang sama, kendati lebih tinggi serta menjulang gagah.
"Aku jadi kangen merayu kamu dari pintu SMA seberang. Penggemarmu banyak sekali waktu itu."
Tak ada jawaban.
".......sayang?"
Hening.
"Jin-ah? Kamu kenap—WHOA!!!"
Namjoon tak sempat mencegah ketika tubuhnya didorong paksa ke atas ranjang. Punggung rebah, terlentang maksimum dengan Seokjin menduduki perutnya. Bukan keberatan akan perlakuan maupun bobot tubuh lelaki itu, hanya terlalu terkejut akibat ditindih mendadak. Untuk sesaat, Namjoon mengira akan ditegur—dan bermaksud meminta maaf karena urung mengajak putra mereka jalan-jalan kemarin siang. Tapi sewaktu mendapati nyala membara di bola mata Seokjin, sepertinya sang suami memiliki alasan lain.
"Murid nakal."
"Eh?" kerjap pria tersebut, bingung. Terutama sewaktu Seokjin menarik dasinya agar Namjoon menengadah, lalu memagut kasar diiringi jambakan di rambut tengkuk. Seokjin menggigit bibir dan menciumnya teramat dalam sebelum menghempas kepala Namjoon membentur bantal. Tak diberi kesempatan mengaduh, pria itu spontan melotot panik begitu Seokjin bergerak melucuti diri sendiri. Bertahun-tahun menikah, Namjoon tetap belum terbiasa mendapatinya telanjang tiba-tiba.
KAMU SEDANG MEMBACA
SHENMEI | AESTHETIC (NamJin)
Fanfiction[BTS - Namjin/Monjin] Karena keindahan Seokjin adalah anugerah terbesar yang tak berhenti dikaguminya. Tiap saat, diantara hela napas berhembus puja. Bahkan ketika Namjoon tak cukup mempercayai keberadaan Sang Pencipta. . . . . SHEN|MEI Kumpulan Fi...