Langit ba'da subuh masih lumayan gelap. Matahari pagi enggan menampakkan diri terlalu cepat seolah ingin membiarkan embun-embun bergelayut manja di dedaunan guna melepas kerinduan panjang.
Rayhan dan Nisa berjalan berdampingan di area joging track sebuah taman di dekat rumah. Suasana belum terlalu ramai, hanya beberapa pemuda pemudi berlalu lalang dengan sepeda, beberapa yang lain bermain ayunan, jungkat-jungkit, beberapa anak-anak berkejar-kejaran sambil tertawa bersama.
"Mataharinya telat bangun nih!" Rayhan berkata ketika mendapati dari arah timur belum juga terlihat tanda-tanda langit berubah warna.
"Itu karena Mas Rayhan jam segini di luar rumah."
"Emang kenapa?"
"Malu lah dia. Kalah cerah sama sinar di mata Mas Rayhan."
"Astaghfirullah (sambil menempelkan punggung tangan ke kening Nisa). Tau kok kalau orang demam suka ngigau, tapi jangan sambil jalan apa." Lanjutnya.
"Mas Rayhan yang ngajarin."
"Yee!"
Nisa tersenyum sambil menggosok-gosokkan telapak tangan.
"Dingin?" Tangan kanan Rayhan meraih tangan kiri Nisa lalu menggenggamnya.
"Lumayan."
"Lagian kenapa sih tumben minta jalan-jalan?"
"Mau hirup udara seger, mm quality time juga."
"Quality time? Kan di rumah emang kenapa?"
"Kalau di rumah ndak ada siapa-siapa. Kalau di luar kan banyak orang. Biar pada tau Mas Rayhan ini suamiku."
"Haha. Mas Rayhan ndak terkesima sama gombalan kayak gitu. Lain kali cari kalimat lain ya, bidadari!"
"Itu bukan gombalan, itu curahan hati seorang istri."
"Apa itu? Judul sinetron?"
Mereka tertawa bersama sambil terus berjalan bergandengan.
Tak jauh dari posisi mereka, seorang laki-laki tua memukul-mukulkan tongkatnya ke ranting pohon. Ia pukul sekali, kemudian menarik napas terengah beberapa kali, memukul sekali, menarik napas lagi beberapa kali."Assalamualaykum, Mbah!" Rayhan menghampiri.
Tak menjawab, laki-laki tua itu hanya mencoba membenarkan kacamata, melihat Rayhan dari atas sampai bawah.
"Mbah sedang apa. Bisa saya bantu?" Rayhan menawarkan diri.
"Apanya yang buntu Le? Di sini ndak ada jalan buntu. Eh, kalau mau nanya ke orang tua itu pakai salam dulu. Tiba-tiba kok nanyain jalan buntu."
Kalimat lelaki tua membuat Rayhan membatin, "mm simbah ini mungkin pendengarannya sudah agak kurang."
Si simbah kembali dengan aktifitasnya memukul-mukulkan tongkat ke ranting pohon jambu yang tidak ada buahnya sama sekali. Rayhan mengamati dengan cermat, tak jauh dari ranting yang berusaha keras si simbah pukul-pukul. Ada kalin syal berwarna merah maroon terlilit. Tanpa pikir panjang Rayhan melompat, meraih kain syal merah maroon yang tersangkut lalu memberikan kepada simbah.
"Alhamdulillah Gusti, akhirnya!" Sambil mencium syal berkali-kali. Rayhan tersenyum, Nisa yang sejak tadi memperhatikan dari jarak yang agak jauh kini mendekat.
"Terimakasih, Le. Ini satu-satunya peninggalan istriku. Untung saja sampeyan kesini ngambilin. Aku udah hampir putus asa. Udah seminggu nyangkut di sana." Menunjuk ke arah ranting pohon. "Siapa namamu Cah bagus?"
"Rayhan, Mbah!"
"Oh, makasih sekali lagi Nak Jihan."
"Rayhan, Mbah. Rayhan!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Masjid Agung Kiai Ma'sum
General Fiction"Jatuh cinta adalah fitrah, menikah adalah taqdir. Jodoh sudah ditentukan. Tapi bisakah diubah? Menjadi jatuh cinta kepada jodoh, atau berjodoh dengan yang kita jatuh cintai. Bisakah?"