2 tahun lalu, aku mengalami depresi berat. Bahkan obat antidepresan pun seperti tak ada gunanya lagi. Aku muak.
Aku berjalan lunglai sambil menatapi orang-orang, berharap mereka menyapaku atau sekedar tersenyum padaku.
Setengah jam aku melewati beberapa tempat sebelum sampai ke tempat tujuanku. Tapi nihil, malam ini terlalu sunyi dan sepi. Sekalipun ada orang, mereka tak menghiraukanku. Aku sedih, merasa tidak ada yang peduli padaku, ini menyakitkan.
Angin semilir yang sejuk menyapa kulitku, aku menghirup nafas dalam. Kemudian menyadari mataku berair dan aku menangis. Dalam hati, aku sudah bertekad akan menyusul keluargaku dan segera keluar dari kesengsaraan ini. Aku sudah tidak sanggup.
Aku memegang pagar pembatas yang dibawahnya terdapat sungai yang paling populer, baik untuk kencan maupun menjadi tempat langganan bunuh diri.
Saat itu, tidak ada keraguan dalam diriku. Aku memanjati pagar itu perlahan. Tempat ini sepi saat itu, tidak ada yang akan menghentikanku.
Tapi aku salah.
Seseorang menegurku.
Mengulurkan tangan dan memberikan senyuman yang paling indah yang pernah kulihat.
"Disana ada kafe yang baru buka, mau minum kopi bareng? Aku yang traktir." ucapnya sambil tersenyum, sangat manis.
Akhirnya aku menangis dihadapannya. Dia memegang tanganku dan menuntunku turun perlahan, kemudian dekapan hangat itu kurasakan setelah sekian tahun.
Malam itu, aku ingat sekali, aku menangis cukup kuat dan keras hingga hilang keseimbangan dan menjadi sempoyongan berjalan beriringan dengannya.
Dan siapa sangka, dunia sesempit itu. Sekarang aku satu lingkungan dengan si penyelamat nyawaku.
Senyum manisnya,
lesung pipi yang bertengger cantik di sebelah kanan, dan sifat ramah yang menjadi daya tarik tersendiri.Dia Ji Changmin.
Seseorang yang kusumpahi bahagia seumur hidupnya.
Kulihat ia sedang mengobrol dengan teman-temannya, tertawa bahagia seakan tidak punya masalah sedikitpun. Aku senang Tuhan mengabulkan permintaanku.
Aku segera memalingkan pandangan ketika ia menoleh, seakan sadar aku memperhatikannya. Menarik kupluk hoodieku, aku segera beranjak dari sana dengan langkah cepat dan tergesa, takut-takut kalau ia menghampiriku.
Eh, memangnya aku siapa?
Aku tertawa memikirkan spekulasi konyol itu.++++
Karena aku sering menutupi wajahku dengan rambut dan kupluk hoodie yang sengaja tidak kuangkat, aku hampir tidak berinteraksi sama sekali dikelas ini.
Aku takut bersosialisasi.
Aku takut dikecewakan oleh keadaan.
Aku takut berinteraksi pada orang lain.
Aku takut mengenal orang lain.Ya, aku memang sepenakut itu.
"Hai,"
Kudengar seseorang menyapaku. Tapi aku lebih memilih mengabaikan dan sibuk membuat abstrak di buku sketsaku.Tampaknya, ia masih peduli karena kini dia duduk dihadapanku, memperhatikan apa yang sedang kulakukan.
"Wah, gambarmu bagus juga," pujinya. Aku melirik sekilas, kemudian menutup sketchbookku. Menyimpannya di laci dan berjalan ke rak di belakang kelas, hendak mengambil buku paket kuliahku.
"Kamu pemalu ya,"
Aku berjengit kaget ketika mendengar suaranya yang lugas dan besar itu ditelingaku.Dia ini suka muncul tiba-tiba atau bagaimana?
"Hehe, maaf, kaget ya?" tanyanya, yang lagi-lagi aku abaikan.
Ah, selain takut bersosialisasi, kemampuan komunikasiku buruk. Kurasa itu yang membuatku jadi sulit mendekati orang lain.
Aku kembali ke tempat dudukku, kemudian mulai membaca buku paketku, walaupun aku tidak fokus karena gadis pendek ini terus mengikutiku.
"Kamu suka baca buku, ya?" tanyanya. Aku tidak menjawab, aku sibuk membaca perkata yang ada didalam buku tebal itu. Nanti juga dia akan pergi karena diriku ini memang membosankan.
Dia kembali mengambil tempat duduk dihadapanku. Tatapannya tampak seperti sedang menatapiku terus. Aku risih dibuatnya.
"Kamu lebih suka sendiri ya?" tanyanya. Aku masih tidak menjawab. Hei, siapapun tahu diriku ini memang lebih senang menyendiri.
"Emm maaf mengganggu, tapi dari tadi kamu dibicarain terus sama mereka. Aku nggak kuat dengernya,"
"Biarin aja,"
Dia tampak kaget dan menatapku, "Eh?"
"Jangan peduli."
"Ey, kita ini teman. Masa aku harus membuang rasa peduli terhadap temanku?"
"Aku nggak kenal kamu."
Sekarang dia tampak salah tingkah. "Emm.. iya sih. Makanya ayo kenalan! Namaku Yoojung, Choi Yoojung." ujarnya semangat.
Aku menatapnya sekilas dan kembali fokus pada bacaanku. Tidak minat pada perkenalannya. Aku sedang malas berbicara.
"Jung Sora, ya?" dia mengeja tulisan di label namaku.
"Salam kenal, mulai sekarang kita teman!"
KAMU SEDANG MEMBACA
save me
Fanfictionteruntuk kamu, senjaku, bahagialah. walaupun sang surya meninggalkanmu, dan malam mengabaikanmu. aku si pengagummu, akan selalu beriringan denganmu. ©moonscrafn, 20