Suvenir #3: Empat Adalah Angka Ketidakberuntungan

53 1 0
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


"Oh, Sebentar ya, Bu, saya cek dulu," kata gadis penjaga front-office hotel tempatku menginap malam itu seraya mengalihkan pandanganya pada layar komputer informasi dimeja di hadapannya.

"Satu booking-an kamar atas nama Ibu Reina Az... Aza... Eh...," katanya kemudian dengan terbata-bata, mencoba menyebutkan nama belakangku. Aku tidak menyalahkannya. Bahkan, faktanya, aku sudah terbiasa. Sejak aku masuk sekolah, rasa-rasanya nyaris tidak ada seorang gurupun yang tidak kesulitan menyebutkannya.

"Azaleazakia. Reina Azaleazakia," kataku sambil tersenyum.

Banyak petugas front-office maupun customer service yang kesulitan menyebutkan nama belakangku merasa tidak enak. Takut akan ditegur atau dimarahi. Beberapa orang memang ada yang tersinggung karena hal seperti itu. Aku berusaha melemparkan seyuman paling ramah yang bisa kuberikan, agar gadis muda itu tidak merasa demikian.

"Oh. Iya, Ibu. Kamarnya sudah siap. Kamar nomer 521, di lantai lima. Ini kuncinya," katanya dengan agak sedikit canggung sambil menyodorkan sebuah kunci elektronik berbentuk kartu.

"Ada barangnya yang perlu kami bantu bawakan?" tanyanya lagi.

"Oh, tidak ada, Mbak. Barang saya cuma satu ini saja," kataku sambil menunjuk tas koperku yang berukuran tidak terlalu besar, dengan roda di bagian bawahnya dan pegangan di bagian atasnya. "Baik, Ibu. Lift-nya ada di sebelah sana ya," katanya menutup percakapan kami seraya menunjuk salah satu sudut di dekat lobby. Akupun melangkah kesana. Kutekan tombol panggil di depan elevator. Kulihat ke layar diatasnya. Elevator itu sedang meluncur turun dari lantai empat belas ke lantai dasar. Tak lama, kudengar bunyi khas sebuah elevator yang tiba di lantai tujuan, dan sekian detik kemudian, pintunya membuka.

Elevator itu kosong, hanya ada aku sendiri di dalam sana saat itu. Ketika aku menekan tombol angka lima diantara jajaran tombol di dalam elevator, aku menyadari bahwa tidak ada angka empat disana.

Bukan hal yang aneh, sebetulnya.

Kebanyakan orang yang mempercayai takhyul, meyakini bahwa angka yang mewakili ketidakberuntungan adalah angka tigabelas. Namun, bagi sebagian kepercayaan yang lain, angka ketidakberuntungan itu berwujud angka empat. Mereka, para pengusaha yang percaya dengan hal itu, biasanya melompati angka empat di dalam jajaran informasi yang berkaitan dengan bisnisnya. Pengusaha hotel, misalnya. Jika dikatakan bahwa lantai tertinggi pada bangunan itu adalah lantai sepuluh, maka sebetulnya jumlah lantai sebenarnya jika mencoba mengamati dan menghitungnya dari luar bangunan hanya ada sembilan. Mereka melompati angka empat. Jadi secara angka, setelah lantai tiga, lantai berikutnya yang berada persis diatasnya dihitung langsung sebagai lantai lima.

Waktu saat itu menunjukkan masih pukul tiga sore. Bangunan hotel itu berbentuk seperti huruf T, sehingga ketika aku keluar dari elevator, ada tiga lorong yang menunggu di hadapanku. Lorong yang tepat di depanku, dan dua lagi di masing-masing sisi kiri dan kanan. Posisi elevatornya tepat berada di ujung pertemuan ketiga lorong. Cahaya matahari sore yang cerah masih menerjang masuk dengan indahnya dari jendela besar di ujung lorong ketika aku menjelajah salah satu lorong yang menuju ke kamarku.

SUVENIR DARI NERAKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang