P r o l o g

99 6 1
                                    

Seseorang pernah bilang pada Serenade Irish waktu terbaik untuk melihat langit Jakarta adalah pukul lima sore setelah hujan reda, katanya waktu itu langit sore akan berwarna oranye pekat, sinarnya akan cocok dengar kulit putih bak salju milik Irish.

Dan itulah alasan mengapa saat ini Irish duduk merenung didepan teras kelasnya sehabis hujan reda di sore ini, untuk mencoba mempercayai omongan seseorang itu. Aksara Pandu namanya.

Irish menekuk kakinya, ia memeluk kakinya sehingga kepalanya bisa bersandar pada tumit, matanya kini tak lepas dari ujung koridor, menunggu Pandu.

Dan pria itu datang, masih dengan seragam basketnya dan keringat yang bercucuran pria itu menghampiri Irish.

"Sini duduk," Irish menepuk-nepuk lantai disebelahnya mengisyaratkan agar Pandu duduk disampingnya, sebelum akhirnya ia menyadari ada raut wajah yang asing pada pria itu, sosok dihadapannya kini bukanlah Pandu yang ia kenal.

Pandu yang Irish kenal memiliki senyum layaknya sinar mentari dimusim panas, dan senyum milik pria itu juga seharusnya seteduh pohon akasia tua yang daunnya rindang.

Irish mencoba menggapai tangan Pandu sambil mencoba berdiri dan mesejajarkan diri menghadap pria itu.

"Pandu ada apa?" tangan Irish merasakan dinginnya telapak tangan Pandu.

"Ikut gue," alih-alih menjawab Pandu malah menarik tangan Irish dan membawanya pergi.

Irish meneguk salivanya, mendadak tangannya yang hangat menjadi dingin akibat rasa cemas akan sikap Pandu, alih-alih mampu untuk menghangatkan tangan Pandu tangan Irish bahkan ikut mendingin seiring dengan genggaman Pandu yang semakin menguat. Mendadak pula ia takut.

Dan disinilah mereka sekarang, didalam kelas dua belas ipa satu, dihadapan seorang gadis berambut coklat gelap sebahu yang matanya memerah karena menangis.

Kalla Senja namanya.

Dengan tetap menggenggam tangan Irish Pandu mencoba mendorong meja dihadapan Kalla agar tak ada sekat yang memisahkan mereka bertiga.

"Minta maaf Rish," ucap Pandu. Pelan. Namun begitu jelas.

Suara Pandu terdengar begitu dingin ditelinga Irish, gadis itu meneguk salivanya kembali, "Untuk apa?"

Irish menoleh pada Pandu, ditatapnya wajah pria itu yang bahkan barang sedetikpun tak berniat menoleh kepada Irish dan hanya terpaku menatap Kalla.

"Untuk apa?" tanya Irish lagi.

Tatapan Irish kini tertuju kembali pada Kalla, ia mengamati gadis itu dan pandangan Irish terhenti pada kedua tumit Kalla yang berdarah, Irish paham betul situasi apa yang sedang terjadi saat ini.

Sumpah bukan gue, Ndu," Irish menggelengkan kepala sambil menatap Pandu, tangannya mencoba meraih pipi pria itu agar membalas tatapannya.

Demi apapun bukan gue," ulang Irish sekali lagi.

Hening. Tak ada respon apapun dari Pandu, pria itu masih saja menatap wajah Kalla yang juga menatap Pandu, Irish merasa asing diantara mereka.

Irish menghela nafas berat. Ia melepaskan genggaman Pandu dan berjalan mendekati Kalla dengan tangan yang mengadah, "Kalau gitu mana buktinya?"

Lagi-lagi tetap hening, Irish menggelengkan kepalanya, "Ga ada kan?"

"Lo tau jelas Rish gue gak mungkin bisa ngasih buktinya," jawab Kalla. Pelan.

"Berarti semuanya omong kosong," ucap Irish dengan senyum miring yang biasa ia berikan pada perempuan didepannya itu.

Irish kembali berjalan kehadapan Pandu, "Dengerkan Ndu? Percaya gue kan?"

Irish meraih lengan pria itu, Irish tak tahu lagi harus berbuat apa, ia hanya bisa memggenggam lebih kuat lagi tangan Pandu, berharap Pandu menyadari apa yang ia ucapkan adalah sungguh-sungguh.

Irish berharap pada Tuhan kali ini dirinya lah yang memenangkan hati Pandu.

"Pandu plis liat aku," ucap Irish hampir putus asa karena hanya dirinya yang banyak bersuara dari tadi.

"Liat aku Pandu," ucapnya lagi sambil meraih kembali pipi Pandu.

'Aku' dan 'kamu' adalah penanda yang jelas bagi Irish dan Pandu saat memulai percakapan yang serius diantara mereka, keduanya seolah sepakat penggunakaan dua kata itu hanya digunakan ketika mereka sedang berbicara sungguh-sungguh, perbicaraan yang melibatkan hati masing-masing, dan tentu tak pernah ada kebohongan didalamnya.

Kini pria itu melihat Irish, dalam, sangat dalam hingga Irish merasa sesak dan sulit untuk menahan air mata.

"Percaya aku," pinta Irish.

Dengan sisa-sisa keberanian Irish mencoba mendekatkan wajahnya dengan wajah Pandu, ditatapnya kembali mata Pandu mencoba mencari jawaban dari mata pria itu.

Irish menggeleng kecewa, "Kamu ga percaya ternyata." sadarnya.

*****

Tergenggamlah tanganmu olehku,
Kupastikan hangatnya menyertai celah jari jemarimu.

Tumbuhlah bunga-bunga nan cantik pada hatimu,
sebab kusirami bahkan dengan darah yang kuiris didekat nadi.

Bola matamu akan indah disetiap malam,
Sebab ku tarik layar semesta yang penuh gemerlap bintang.

Merah padamlah hatiku karenamu,
Layaknya darah yang membanjiri purnama.

Kau kucintai seutuh hati.
Walau kau meraguku setengah mati.

ScarletTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang