[26] Dua Ancaman

168 18 1
                                    

Pura-pura sakit sepertinya boleh dilakukan agar tidak pegal berjam-jam berdiri untuk mengikuti upacara pengibaran bendera. Baylor mendekatkan wajah ke Jefri yang berada di depannya untuk membisikkan sesuatu, tetapi Jefri bergidik ngeri.

"Bay, walaupun gue jomblo tapi gue normal, kok," racau Jefri bersungguh-sungguh.

Baylor mencibir, "Gue juga gak doyan sama lo." Kemudian ia bergidik jijik.

Ingat niat awalnya untuk mengatakan sesuatu, ia pun kembali meminta Jefri untuk menoleh. Meski Farhan selaku ketua kelas sudah memberi peringatan dengan telunjuk yang ditempel ke bibir, Baylor tidak peduli.

"Jef, gue pengen pura-pura sakit," bisik Baylor, kali ini mengecilkan volume suaranya.

Jefri mengembus napas sebelum menjawab, "Ayo."

"Ke mana?" tanya lelaki itu kebingungan ketika Jefri sudah berbalik badan menghadap ke arahnya.

Hal itu membuat para peserta upacara yang lain menoleh pada mereka. Jefri langsung berakting, "Eh lo kenapa, Bay? PMR, PMR!" Teriakkan Jefri yang tak pernah Baylor duga menimbulkan kegaduhan sekitar.

Pembina upacara yang tengah membacakan pidato pun seakan berhenti sejenak. Dalam hati Baylor benar-benar menyumpah serapahi Jefri, ia juga menyalahkan dirinya sendiri yang salah memberitahu orang. Coba kalau bicara pada siapa pun itu selain Jefri, mungkin tidak akan jadi seperti ini.

Petugas PMR yang sigap langsung memapah Baylor ke belakang, dua siswa ini tidak bertanya apa-apa selama di perjalanan menuju UKS.

Baylor diperintahkan untuk duduk bersama para murid yang sakit lainnya. Kalau Baylor perhatikan, sepertinya cuman dirinya yang pura-pura sakit. Yang lain kelihatan pucat, lesu, bahkan ada yang terbaring pingsan.

Memang setiap hari senin, tirai yang memisahkan ranjang perempuan dan laki-laki dibuka. Karena petugas pun tak pernah tahu, mana yang lebih banyak pasiennya. Lantas digabungkan begitu saja. Lagipula, tanpa adanya tirai lebih memudahkan petugas yang berjaga di dalam untuk ke sana ke mari.

Selang beberapa menit, seorang gadis menghampiri Baylor dengan buku besar di tangannya. Baylor mengamatinya sebentar yang tengah menunduk menulis sesuatu, lalu bergumam kecil, "Mella."

Armella--ya, gadis itu kebagian jaga di dalam. Mendongak dan agak terkejut siapa pasien di hadapannya. "Berantem?" tanyanya polos yang membuat Baylor membuang napas.

"Lo pikir dong, Mella. Masa iya gue berantem pas lagi upacara? Yang ada ditimpuk pake mic sama pembina," jelas Baylor.

Atensinya sejak awal masuk sudah dicurigai oleh manusia-manusia dalam ruangan itu, lantas ketika Baylor berbicara panjang apda Armella mereka semakin menatap curiga. Salah satu anak PMR lain memicing, "Kakak pura-pura sakit, ya?"

Baylor terkesiap, terburu-buru memegangi perutnya. "Aduh, Mella. Perut gue...." Tidak lupa memejamkan kelopak mata untuk mendalami peran sebagai orang sakit perut. Setengah panik, Armella menyuruh lelaki itu untuk berbaring.

"Longgarin ikat pingganya, Bay!" suruh gadis itu. Baylor menuruti agar aktingnya berjalan sempurna.

"Lo belum sarapan? Magh? Pengen boker? Apa gimana?" tanya Armelal bertubi-tubi dengan tebakkannya yang asal. Gadis itu meraih minyak angin di atas nakas, kemudian meminta Baylor untuk melebarkan telapak tangannya.

Armella meneteskan minyak angin tersebut saat telapak tangan Baylor menengadah, lalu refleks menutup mata. Tahu apa yang selanjutnya akan Baylor lakukan, yakni membalur perutnya.

"Udah belum?" tanyanya dengan nada bermain petak umpat. Meski menutup mata, sesekali Armella mengintip lewat celah-celah yang tercipta. "Enam, masih enam," gumamnya pelan.

Baylor [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang