Surat Undangan

69 38 11
                                    

☆Bismillahirrahmanirrahim☆

Kepanikan adalah separuh penyakit, ketenangan adalah separuh obat, dan kesabaran adalah permulaan kesembuhan

~Ali Bin Abi Thalib~

🍁🍁🍁🍁🍁

Sudah tiga hari aku terbaring di ruangan yang sama, selama itu juga aku belum memberikan pesan apa-apa pada kedua sahabatku. Mereka berdua mengirimkan pesan memarahiku, tapi aku sama sekali tidak menggubrisnya. Aku sangat bosan berada di ruangan ini, tapi karena ada kak Rahman yang menghibur jadi tidak terlalu bosan. Dia selalu menjengukku setiap hari dalam kurun waktu sebentar ataupun lama, seperti yang dilakukannya hari ini.

Seorang pria berkulit sawo matang dan bertubuh tinggi memasuki ruangan dengan membawa berbagai buah macam-macam. Dia belum sempat melihatku, dengan tergesa ku katupkan mata, berpura-pura tidur.

"Umi, Sabila tidur?" ucapnya seraya berjalan mendekati meja yang berada di samping ranjang untuk meletakkan bawaannya.

"Tidur? Sebelum kamu masuk dia masih berbicara," ucap umi yang memang tidak tahu bahwa aku sudah mengatupkan mata.

"Ah benarkah? Aku bawa pulang lagi ya buah-buahannya, toh yang mau memakannya juga tidur."

Dengan sigap aku membuka mata dan berkata. "Jangan! Aku sudah bangun kak."

"Bukannya baru tidur ya? Kok udah bangun lagi," geramnya dengan nada selidik.

"Enggak tidur sih, cuma pura-pura, aku mau apelnya boleh?"

"Emangnya yang sakit boleh makan apel?"

"Hahhh? Emang gak boleh ya?"

"Biasa aja, gak usah melongo gitu haha ... saya kupas ya!"

"Heemm," Tanda setuju.

"Rahman terima kasih ya sudah baik sama Sabila."

"Iya umi sama-sama. Sabila juga dulu baik waktu Rahman sakit."

"Sabila baik apa sama kamu?" tanya umi tak percaya.

"Dulu kalau Rahman lagi sakit, Sabila suka kasih coklat sama permen, padahal Rahman lagi sakit gigi," jawabnya meyakinkan.

"Haahh! serius?" sentakku.

"Oh iya umi ingat, dia selalu minta uang untuk beli coklat kalau Rahman lagi sakit. Ternyata sakit gigi toh? Bukannya sembuh malah makin parah."

"Nah itu dia, uniknya sakit gigi itu pasti langsung sembuh."

Suara ketukan pintu dan ucapan salam membuat percakapan kami terhenti.

Tok ... tok ... tok ...
"Assalamu'alaikum,"

"Waalaikumsalam," jawab kami serempak.

"Kalian? Kok tahu aku disini?"

"Aku tanya bang Ihsanmu, kenapa gak kasih tahu sih? Kami khawatir karena kamu gak kasih kabar," geram Nazma.

"Iya Sa, kami khawatir karena kamu gak balas pesan kami. Kak Alif juga," timpal Ayla.

"Maaf, aku tidak mau membuat kalian khawatir, alhamdulillah aku tidak apa-apa."

"Justru karena kamu tidak mengabari, kami khawatir dan kalang kabut mencari kabarmu," jelas Nazma.

"Aku mohon maaf," Dengan nada penuh penyesalan.

Nazma dan Ayla menatap Rahman yang sedang mengupas apel dengan sabarnya, yang di tatap tidak mendongak hanya fokus pada yang sedang di kerjakannya.

Kekasih Halal di Bumi Cordoba (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang