Satu

19 2 1
                                    

And the wind, the wind went out to meet with the sun

Dia berdiri disana, ditengah-tengah Yamashita Koen dengan sebuah biola ditangan kirinya. Wajahnya sedikit memerah dan ada titik samar keringat di pelipis, pertanda sedang gugup. Orang-orang ditaman kemudian mulai mencuri lihat kearahnya. Penasaran. 

Bagaimana tidak? Seorang wanita yang membawa biola telanjang tanpa tas penutup bukanlah sebuah pemandangan yang umum dilihat setiap harinya.

Semakin lama semakin banyak orang yang berbisik-bisik penasaran. Wajahnya semakin memerah. Begitu juga dengan titik-titik keringat yang juga ikut semakin banyak. 

Ku pikir saat itu dia akan segera berlari sembari menutup wajahnya karena malu. Tapi aku salah. Ia tidak lari. Bahkan tidak bergeser satu senti pun dari tempatnya berdiri sejak awal. Yang Ia lakukan malah menarik nafas panjang sembari menguatkan genggamannya pada leher biola. Kemudian dinaikkannya biola itu keatas bahu dengan dagu sebagai penjepit. Beberapa detik kemudian, mulai terdengar lantunan melodi indah yang keluar dari gesekan senar-senar putih itu.

Orang-orang di taman secara spontan mulai mengelilinginya dengan mata berbinar terpana. Hembusan angin yang meniup rambut sepingang dan gaun merah mudah selutut miliknya ditambah radian senja Yokohama yang menyinari seluruh tubuhnya seperti spotlight ikut andil menambah keindahan perempuan berbiola itu.

Semua orang terpana. Begitu juga dengan diriku yang tanpa sadar ikut memejamkan mata.

Tiga menit kemudian, melodi-melodi itu perlahan mulai samar terdengar dan perlahan mulai digantikan oleh riuh tepuk tangan dan decakan kagum berisi puji-pujian. Pertunjukkan telah selesai.

Ia segera mengemas biolanya begitu kerumunan orang telah hilang. Setelah itu, tiba-tiba dia berlari kecil menghampiriku.

"Hari ini, terima kasih sudah melihat penampilanku dari awal sampai akhir" katanya begitu Ia tiba dihadapanku.

"Shoko. Mikazuki Shoko. Kau?" sambungnya dengan tangan kanan terjulur kedepan dan satu senyum diwajah.

Aku terpaku. Ini adalah kali pertama ada yang berani menjulurkan tangannya dan mengajakku berkenalan dengan tulus, tanpa rasa takut.

"Samatoki. Aohitsugi Samatoki" jawabku menyambut tangan kananannya setelah cukup lama ku biarkan mengambang sendirian di udara.

Dia tersenyum lagi. Dan senyumnya, entah mengapa terasa begitu mengahangatkan.

Salut d'AmourTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang