Dia tidak tahu kapan kursi di depannya ditarik.
Yang dia ingat, setelah akhirnya berhasil menemukan pojokan yang terlihat tenang untuk menggambar sesuatu dan memesan segelas kopi tanpa gula, dia merasa bahwa akan sangat nyaman menghabiskan waktu di tempat ini.
Dia bahkan nyaris tidak sadar saat sebuah suara—yang nyaris membuatnya mati di tempat karena serangan jantung—mengatakan sesuatu padanya.
"Kursi lain penuh, kuharap kau tidak keberatan."
Matanya menelisik ke seluruh ruangan, dan memang benar. Tidak ada kursi kosong yang tersisa. Dia mengangguk dan melirik ke arah sosok di depannya.
Seorang anak perempuan berambut merah muda. Warna yang sangat mencolok untuk seorang pelajar. Tapi siapa yang tahu? Mungkin saja anak ini tidak pergi ke sekolah biasa.
Sadar bahwa sikapnya mulai tidak sopan, dia menghentikan pemikirannya dan kembali ke kegiatan sebelumnya. Pensilnya kembali bergerak dan sebuah garis terbentuk di permukaan kertas tersebut. Membentuk sebuah sketsa yang terlihat indah.
Namun matanya tidak bisa diajak bekerja sama. Sepasang manik kelam itu terlihat sangat tertarik dengan warna merah muda dari sosok di depannya. Pada detik berikutnya, mata mereka bertemu.
Dan dia nyaris terjungkal ke belakang.
Tapi bocah ini terlihat tidak terlalu mempermasalahkan hal tersebut dan menaik turunkan alisnya. Kemudian tersenyum lebar dan terkekeh.
Dia berdehem untuk menutupi rasa malu yang menjalar ke wajahnya. Setelah meyakinkan dirinya sendiri bahwa telinganya tidak merah, dia bertanya, "Siapa namamu?"
Dia sudah tertangkap basah menatap seseorang dengan cara sembunyi-sembunyi, akan sangat tidak sopan jika dia tidak menanyakan namanya. Bahkan jika wajahnya sangat tipis, tata krama adalah hal utama.
Bocah berambut merah muda itu menatapnya selama beberapa saat, kemudian tersenyum lebar dan menjawab riang, "Namaku Aria Vanadey."
"Waria?"
"Aria, bodoh. Kau sudah terlalu tua hingga menjadi tuli atau apa?" Senyum tadi seketika luntur dan digantikan dengan wajah kesal. Disusul dengan suara dengusan yang entah kenapa malah membuat kesan lucu. Bocah perempuan bernama Aria tersebut berdecih dan meminum pesanannya. "Lalu, kau, siapa namamu?"
Tidak bisa dipungkiri, ada perasaan penasaran di benak Aria semenjak dia duduk di sini. Dan ini jelas adalah kesempatan untuk menuntaskan rasa penasarannya.
"Aku," Ada sedikit jeda di dalam kalimatnya. Manik kelam pria itu menelusuri wajah Aria yang berubah menjadi penasaran. "Hanniel Faolan."
"Ini bahkan bukan cerita fantasi, kenapa namamu sangat sulit?"
Dia ... tidak bisa berkata-kata.
Bocah ini sangat cerewet. Dan kata-katanya—sangat tajam.
Mereka baru saja bertemu, tapi dia sudah bersikap sarkas padanya sebanyak dua kali. Sifat yang sangat tidak sopan untuk ditunjukkan pada orang yang jelas-jelas hidup sepuluh tahun lebih lama darinya.
Walaupun Hanniel sendiri tidak terlalu yakin tentang umur anak ini, tapi melihat dari wajahnya dia bisa menebak bahwa Aria berumur sekitar tiga belas sampai empat belas tahun.
Aria menaruh minumannya dan meletakkan lengannya di meja, kemudian berkata sambil menopang dagunya dengan tangan kiri. "Berapa umurmu? Enam belas?"
Hanniel nyaris menjatuhkan pensilnya.
Pria itu menatap bocah di depannya dengan pandangan terkejut. Alisnya naik secara tidak sadar dan matanya berkedip beberapa kali.
Dia tidak salah dengar, kan? Enam belas tahun? Ini sudah hampir tujuh tahun semenjak umurnya menginjak enam belas, bagaimana bisa?
KAMU SEDANG MEMBACA
Counterfeit
Teen Fiction"Saat mereka pergi, orang-orang menyuruhku untuk tersenyum, dan aku melakukannya. Tapi sekarang, kenapa mereka malah menyuruhku berhenti melakukannya? Siapa yang aneh disini?" - "Kau berusaha meyakinkan dirimu bahwa itu adalah kesalahan orang-orang...