III. Kif, 17 tahun yang lalu

47 5 0
                                    

Kif adalah keseimbangan yang tercipta antara keturunan Pemimpin dan keturunan Daitya. Hal yang mustahil, mengingat Kif terletak di Utara dan nyaris dinobatkan sebagai Free Area kedua. Hal yang tidak mustahil kini, karena dongeng itu benar terjadi dan menjadikan Kif sebagai kota yang dipercaya Pusat.

Itu terjadi lama sekali sampai Jeon Jeonggwa, kakeknya, tidak tahu siapa yang pertama kali menceritakan kisah ini dan menjadikannya dongeng warisan keluarga Jeon sebelum tidur. Jeongguk kecil tersenyum terbawa alur cerita, sampai istilah Darah Iblis mengganti nama keturunan Daitya.

"Kenapa kita disebut Darah Iblis?" Jeongguk kecil bertanya tidak sabaran, ngantuk hilang seiring perkembangan cerita. "Iblis itu jahat?"

"Iblis itu jahat, benar, tapi Iblis adalah keberadaan paling kuat setelah dewa-dewa meninggalkan dunia ini," Kakek Jeonggwa mengelus janggut putihnya yang ikut duduk. Jeongguk meraih janggut itu tapi tangannya ditepis menjauh. "Nah, Daitya. Daitya menjadi Darah Iblis saat seseorang dari kita—bukan klan Jeon, tenang saja, Guk—tidak dapat mengendalikan Elemennya dan berakhir membakar dua ratus Sipil yang tidak pernah boleh dibunuh menggunakan Elemen."

"Tidak!!" mata Jeongguk yang besar berkaca-kaca. "Lalu, lalu?"

"Setelah kasus itu, semakin banyak Daitya yang membuat kehancuran. Hmm, mungkin ada sepuluh kasus lainnya yang membuat Pusat mengekspos keturunan Daitya ke mata dunia. Jeongguk, tidak banyak orang menyukai Daitya dan daya Elementalnya yang terlalu berbahaya. Seorang Daitya yang lepas kendali bisa merugikan seisi kota."

Jeongguk kecil tenggelam dalam kepalanya yang masih berusia enam tahun. Kakek Jeonggwa terkekeh melihat kerutan di antara alis cucunya, gemas.

"Yah... karena Daitya diekspos jelek-jeleknya begitu. Orang-orang menyebut kita sebagai Darah Iblis. Mereka menginginkan kita dibuang, dilepaskan kekuatannya, dimusnahkan," Jeonggwa menceritakan ini dengan nada yang masih ringan. Matanya tidak putus menatap balik Jeongguk yang masih kebingungan. "Setelah itu, hubungan kita, Darah Iblis, dengan keturunan Pemimpin menjadi retak."

"Kita masih Daitya," Jeongguk mendadak terbangun, membuat boneka kelincinya berguling menjauh. Sorot matanya ambisius. "Kakek Jeonggwa! Darah Iblis itu keren, Daitya itu keren! Aku bangga. Mama bilang aku akan bisa mengendalikan Elemenku nanti, dan aku tidak sabar!"

"Jeongguk—"

"Kakek punya Elemen api kan? Aku juga bakal seperti Kakek!" Jeongguk berbaring lagi, menarik selimutnya dan meraba-raba kasur untuk meraih boneka kelinci merah muda. Kakek Jeonggwa membantunya, Jeongguk memeluk boneka itu dengan semangat. "Kek, aku tidak ngerti tapi aku tahu cerita ini sedih dan pusing. Jadi, Kakek jangan sedih juga."

Kakek Jeonggwa tersenyum lemah.

"Nanti saat udah besar aku pasti mengerti! Dan aku akan jadi Elementalis Daitya yang paling kuat. Mama bilang aku pasti jadi yang paling kuat!" Jeongguk memejamkan matanya kuat-kuat. "Sekarang, aku mau tidur. Biar aku cepat dewasa. Selamat malam, Kakek!"

Jeongguk berharap dia masih tidur sampai detik ini, kadang-kadang. Kalau sedang sendirian dan membutuhkan rehat di antara kelelahan yang tak kunjung dia akui, pikirannya selalu berjalan mundur. Menyiksanya, membuatnya ingat dengan orang-orang yang sudah tidak bisa ditemuinya lagi dalam waktu dekat—kecuali peluru berbahan logam etrak menembus jantungnya di medan perang.

Api di hadapannya berubah menjadi kobaran hitam di atas kayu, mengecil, lalu lenyap. Gelap total.

"Kita berangkat saat matahari mulai tampak," Minho berujar dari belakang Jeongguk. Matahari akan terbit dalam beberapa saat lagi, Ilusi yang dipasang akan luntur di waktu yang sama, dan saat itulah garis pertahanan pertama Omerta kehabisan waktu untuk mempersiapkan senjata dan prajurit mereka.

Minho bicara lagi, "Yang dikatakan oleh orang itu benar. Para Pendeta masih di perjalanan, Omerta berada di kondisi terlemah sekarang. Mudah bagi kita untuk mencarinya."

"Tidak akan semudah itu," Jeongguk bangkit, mengambil pedangnya, Sonagi, yang bersandar pada batu yang dia duduki, dan berjalan melewati Minho. "Akhir-akhir ini Pusat menggandakan upayanya untuk menyusup di antara Resistance. Mereka tidak akan lengah."

"Benar," Minho melangkah mengekorinya, sepatu perang menapak di atas tanah subur Timur tanpa suara. Sekilas, Minho terlihat lelah. Mungkin bukan hanya Minho, tapi Elven lainnya yang terus memberikan Ilusi berkala selama tiga hari terakhir.

Di perjalanan, mereka terbagi menjadi ratusan tim kecil beranggotakan tujuh orang untuk mempermudah penyamaran menggunakan Ilusi. Timur adalah daratan yang terlalu damai, terlalu sistematis, dan punya jutaan menara pengawas dengan simbol Pusat di benderanya. Resistance tidak bisa melakukan penyerangan spontan seperti yang biasa mereka lakukan di Utara atau kerugian mereka akan tak terhitung. Elven mereka akan membutuhkan banyak pemulihan setelah ini.

Lagipula, mereka hanya ke daratan Timur untuk satu kepentingan. Setelah ini, mereka menuju Perbatasan dan kembali menyusuri dunia untuk memperluas jaringan.

.——><——.

Taehyung tidak diperbolehkan membaca koran. Pendeta Gyeongryu melarang Taehyung untuk berkomunikasi kecuali dengan Pendeta Tinggi, anggota keluarga kerajaan, dan Jimin. Sumber informasi mengenai dunia di luar kastil Mylva hanya sebatas buku sejarah yang diberikan Pendeta (atau yang diselundupkan Jimin), tapi Taehyung tahu. Dia tahu kelompok pembunuh dari Utara yang menembakkan kilat dan api biru ke langit hitam dan membuat para Pendeta lengah karena Taehyung "tidak" kunjung menerima pesan mengenai kelompok ini dari mimpi-mimpinya.

Diam-diam, Taehyung sudah melihatnya.

Selain buku yang diselundupkan, Taehyung belajar berbohong dari Jimin. Sejak dua tahun yang lalu dia telah melihat kilasan pembantaian, api biru yang padam saat tulang-tulang itu hancur. Taehyung ingat seseorang yang mengenakan topeng hitam dengan garis melintang diagonal di atasnya, menghancurkan menara pengawas dengan api biru yang berkilat-kilat dari jarinya. Taehyung melihat dirinya dan Jimin meninggalkan Omerta, menunggangi kuda bersama laki-laki bertopeng hitam itu.

Chasing after Our EndsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang