Ini Tidak Benar

27.9K 2.1K 12
                                    

"Hari ini, mungkin kakak akan pulang terlambat Viz." Ucapku sembari turun dari motor. Karena hari ini dia tidak masuk kuliah aku memintanya untuk mengantar ke kantor.

"Ini kan weekend kak, kenapa lembur?" Aku menghela napas sembari membenarkan rambutku yang sedikit berantakan setelah melepas helm.

"Kakak ada meeting, kebetulan teman kakak nggak masuk karena check-up tangannya yang sempat retak. Jadi kakak yang harus berangkat." Harviz mengangguk paham.

"Ya sudah kalau begitu Harviz pamit pulang. Nanti kalau sudah selesai kerja kabarin saja kak, biar aku jemput."

"Iya! Hati-hati di jalan."

"Kakak juga jangan terlalu kecapekan, kasihan janinnya." Aku tersenyum kecil saat Harviz mengusap lembut perutku. Tidak lama kemudian dia kembali mengemudikan motornya untuk pulang.

Aku berjalan pelan memasuki area perkantoran. Dalam kondisi hamil seperti sekarang, jujur sangat sulit melakukan berbagai macam kegiatan. Selain menjadi mudah lelah, kaki dan beberapa bagian tubuhku mulai mengalami pembengkakan.

Menginjak usia kandungan tujuh bulan pada satu minggu yang lalu, perutku masih terbilang cukup kecil dari ukuran yang seharusnya. Tapi setiap kali periksa, tante Tika bilang tidak masalah.

Bayiku sehat serta aktif. Sungguh suatu hal yang luar biasa dan patut ku syukuri. Meski setelah insiden dilabrak mantan mertuaku, bekerja di kantor menjadi pilihan yang sulit tapi tetap harus dijalani. Sabar ya nak, mama tetap harus semangat agar bisa memberikan yang terbaik buat kamu.

"Harviz sudah besar ya sekarang!" Aku terperanjat, lamunanku sontak buyar.

"Eh, engh, iya pak, sudah kuliah sekarang." Jawabku gugup saat tiba-tiba mendapati pak Bagas berdiri di depanku. Sejak kapan ada di sana?

Dia tampak menganggukkan kepala setelah mendengar jawabanku. Pak Bagas kembali memasukkan tangannya ke dalam saku, lalu berbalik ke arah ruangannya.

"Siapkan berkas yang diperlukan siang nanti kita langsung berangkat ke lokasi proyek." Perintahnya sembari berlalu.

"Baik, pak." Jawabku sedikit terlambat. Entah didengar atau tidak.

Menangani beberapa pekerjaan seorang diri nyatanya cukup merepotkan. Aku beberapa kali keluar masuk kamar mandi untuk buang air kecil. Apalagi kalau janinku tiba-tiba menendang, jelas aku tidak bisa serta merta mengabaikan. Terkadang sampai keluar keringat dingin saat terasa kram kalau janinnya menendang terlalu kuat.

Aku menyeka keringat yang mengucur sejak tadi. Bahkan AC di ruangan ini terasa tidak berfungsi.

"Sudah siap?" Aku mendongak menatap pak Bagas yang sudah menenteng tas kerjanya.

"Sudah pak, saya ijin ke kamar mandi sebentar mau buang air kecil." Dia mengangguk sekilas.

Keluar dari kamar mandi, aku mendapati ruang kerja yang sudah rapi. Padahal saat ku tinggal, berkas-berkas yang diperlukan masih berserakan di meja. Aku bingung setengah mati, jangan-jangan dibereskan petugas kebersihan? Atau di buang ke tempat sampah?? Astaga.

"Kamu cari apa?" Aku menoleh.

"Berkas-berkas saya yang di meja tidak ada pak, tadi saya taruh di sini. Memang belum masuk ke dalam tas." Jelasku takut-takut.

"Sudah saya masukkan ke dalam tas." Jawab pak Bagas dengan wsajah santai, sambil mengangkat tasnya untuk menunjukkan padaku.

"Biar saya bawakan pak." Tawarku ketika menyadari kini pak Bagas membawa dua tas berukuran sedang.

"Saya saja, kamu cukup bawa tasmu sendiri. Segera siap-siap, biar saya tunggu di mobil."

"Ba-baik, pak."

Bukan Salah Karma [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang