[29] Semesta, bercanda?

187 18 0
                                    

Mereka masih di sini, sejak dua jam yang lalu. Dengan perasaan yang sama, tetapi pikiran yang berbeda. Logika kadang tak sejalan dengan hati, seringnya begitu. Untuk masalah ini, gadis itu sedang ingin bermain bersama logikanya.

"Udah cukup ngambeknya, Na," ujar Baylor berusaha mengeluarkan jurus ampuhnya, yakni keteduhan pada netra. Namun, dinding yang Kirana bangun seperti tengah diperbaiki, untuk lebih kuat, untuk lebih tegas pada pendiriannya.

Gadis itu sudah berada di ambang batas kesadaran. Sebagai sepasang kekasih yang sudah tiga tahun lebih berpacaran, harusnya Kirana sudah bisa memaklumi pasangannya. Bukan malah memojokkan Baylor yang sebenarnya tidak bersalah.

"Lo pikir gue pake dukun yang buat Armella suka sama gue? Enggak, Na." Baylor masih menjelaskan, tetapi dari sekian banyak suara hanya suara Baylor yang gadis itu tolak untuk masuk ke pendengarannya. Ia bekerjasama dengan seluruh organ baik di dalam maupun di luar agar tetap  berpendirian.

Kalau Kirana sudah bertekad untuk memutuskan hubungan mereka, Baylor bisa apa? Mau lelaki itu memarahinya, membentak, bahkan menampar sekali pun ada HAM yang melindungi Kirana.

"Kirana!" bentak Baylor dengan menaiki volume suaranya satu oktaf, orang-orang di sekitar mereka--para pengunjung cafe pun menoleh bersamaan tanpa dikomando. Sang pelayan memberi peringatan kecil pada Baylor yang mengganggu ketenangan.

"JAUZA KIRANA GINTING, BUKA MULUT LO ATAU GUE SOBEK?!"

Boom.

Dan di sinilah puncaknya, Kirana juga kaget Baylor bisa mengancamnya seperti itu di tempat publik. Hingga seorang pelayan menghampiri meja mereka dan menyuruh dengan hormat Baylor untuk keluar.

Pembeli memang raja, tapi kalau raja yang kelakuannya macam Baylor malah menjatuhkan nama baik cafe tersebut. Alhasil, walau Baylor sempat menepis kedua tangannya yang dicengkeram sembari menolak, sang pelayan justru meminta bantuan temannya yang lain.

Baykor kalah oleh tiga orang, ia diseret keluar. Dengan Kirana yang mengekori di belakang penuh sesal.

"Lo bisa enggak sih, jadi cowok yang lembut sedikit? Lo pikir selama ini sikap lo yang kasar itu bagus, Bay? Enggak, enggak sama sekali." Setelah muak dua jam mengunci mulut, Kirana mengelaurkan unek-uneknya yang tertahan.

Baylor terdiam, ia menyandarkan diri di balkon mall lantai dua yang berbahan kaca transparan setinggi paruh punggungnya. Diambillanya lengan Kirana, Baylor merasakan kehangatan yang menjalar dari telapak tangan gadis itu.

"Lo tahu? Dulu gue itu dingin kayak telapak yang lo genggam sekarang," tutur Baylor tenang sembari mengambil jeda untuk melanjutkan ucapannya, "sifat gue gak disukain orang, bahkan mamah papah sekalipun."

Kirana masih mendengarkan sampai akhirnya gadis itu terkesiap mundur ketika Baylor mencondongkan tubuhnya ke depan.

"Semenjak gue kenal lo, semua berubah," desis lelaki itu. Lalu menarik tubuhnya kembali.

Berubah?  batin Kirana.

"Iya, berubah. Tetap jadi Baylor yang dingin, tapi menghangatkan. Sifat lugu lo buat gue gemes, secara gak langsung buat gue ketawa," imbuh Baylor, ia menipiskan bibir. "Ketawa yang dulu sempet gue lupa caranya gimana." Diakhiri senyum miris.

Baylor melepas genggamannya, beralih untuk bertumpu di pundak mungil gadis itu. "Berkat lo, Kirana. Lo yang udah buat gue jadi Baylor yang sekarang. Yang perlahan-lahan berangsur membaik." Ia menatap lekat manik mata gadis itu.

Siapa yang kalah dan siapa yang menang?

Tentu saja mata meneduhkan Baylor yang menang telak membuat Kirana menghindar.

Baylor [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang