[Very recommend to listen to this song.]
• Now Playing : Be Alright — Dean Lewis •
And my friend said,
"I know you love her, but it's over, Mate.
It doesn't matter, put the phone away.
It's never easy to walk away, let her go.
It'll be alright."• • •
Sinar matahari tengah berusaha mencuri masuk lewat gorden hitam yang menutup rapat kaca jendela. Burung yang satu-satu beterbangan mengitari atap rumah dan pohon tinggi di tepian jalan tampak bahagia menciptakan kicau menyenangkan. Sesekali, orang-orang yang sedang berolahraga terlihat berlalu lalang untuk menikmati minggu pagi secara sehat. Suasana di area perumahan elite ibu kota hari itu terasa normal-normal saja sebagaimana mestinya. Tetapi, siapa yang tahu bahwa dari dalam kamar bergorden hitam, sebuah isak tangis terdengar memilukan.
Ruang kamar gelap, pendingin dengan derajat suhu rendah, hening yang dipecah oleh isak tangis tak berkesudahan. Seorang gadis yang sedang bersembunyi dibalik selimut tebal berwarna cokelat tua, enggan bangkit untuk menyapa pagi. Dia sudah bangun sejak tadi, tetapi tidak untuk beranjak dan berjalan ke kamar mandi melainkan untuk melanjutkan tangis yang pecah sejak semalam. Tahun terburuk dalam hidupnya yang ingin sekali ia hapus dari dalam ingatan. Amnesia tampak lebih menggiurkan daripada harus melanjutkan hidup dengan siksaan semacam ini. Kelas 12 yang berlalu dengan begitu buruk, ditolak dari universitas impiannya di Yogyakarta, pacar yang baru saja berubah status menjadi mantan beberapa jam lalu karena hubungan mereka yang tidak lagi dapat diperjuangkan. Kalau boleh dia menekan tombol repeat untuk kembali ke masa lampau, pasti sudah dilakukan olehnya dan sebisa mungkin menjalani kehidupan tanpa harus bergesekan dengan alur menyakitkan seperti ini untuk kali kedua.
Prom-night yang ia harapkan akan menjadi acara paling menyenangkan untuk menutupi segala kisah bodoh di SMA, nyatanya banting setir secepat kilat ke arah lain ketika kedatangan seorang yang tidak ia harapkan muncul di hadapannya. Mendapati orang tersebut dengan mudahnya berkata maaf seolah perbuatannya selama beberapa bulan belakangan dapat dimaklumi begitu saja. Untuk gadis itu, diputuskan terdengar lebih baik daripada harus bertahan dalam hubungan abu-abu dimana setiap harinya hanya dia yang berusaha. Maka dengan segala kehancuran yang dimiliki oleh gadis si gadis, malam itu, dia beranikan diri untuk lebih dulu menyerah. Menyatakan sebuah kata sudah pada sosok pria berkemeja hitam yang baru tiba dari bandara.
Judith Aluna. Seorang yang pernah menjadi istimewa memanggilnya dengan sapaan Aluna. Katanya, Aluna terdengar lebih indah dan cantik disaat bersamaan. Sangat cocok disematkan pada si gadis ceria seperti dia. Bahkan dari banyaknya manusia yang mengenal Judith, hanya satu orang yang cocok memanggilnya begitu. Hanya suara pria itu yang pas kala memanggilnya Aluna dengan penuh sayang.
Untuk kali kesekian, Judith menggunakan telapak tangannya untuk mengusap pipi yang sudah kebas. Perasaannya hancur sejadi-jadinya. 2 bulan lalu dimana Judith sudah yakin untuk menyudahi ini semua, dia pikir air mata tidak akan ikut serta. Nyatanya, rasa pahit dan sakit harus ia telan bersamaan ketika hubungan mereka secara resmi berjumpa dengan sudah. Bohong kalau Judith berkata perasaannya sudah tiada, dia hanya sedang menyimpannya dan berpura-pura menjadi manusia tanpa luka. Sebab si pria tidak lagi pantas mendapatkannya. Mereka selesai, dan itu yang terbaik.
Judith mengerjap, tubuhnya lemas bukan main. Dia pulang ketika tengah malam bersama Rizzy dan tanpa aba-aba langsung mendarat ke tempat tidur dan menangis menatap layar ponsel sendiri dimana foto sang mantan masih ia gunakan. Dimatikannya ponsel, kemudian dinyalakannya lagi. Bahkan sempat ingin mengirimkan pesan dan mengatakan bahwa dirinya menyesal menyudahi hubungan mereka. Beruntung saja karena Judith masih memiliki separuh kesadaran dan dia tidak melakukannya. Alih-alih memberitahu bahwa dirinya menyesal, Judith malah mengetikkan sesuatu yang mengejutkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Just Like Yesterday
General FictionPART MASIH LENGKAP! "Mungkin, pada dasarnya kita hanya datang untuk kembali berkata hendak pergi. Kamu itu layaknya rasi bintangㅡtidak selamanya terang, tidak selamanya indah. Mungkin sekarang saatnya untuk berkata sudah." Judith Aluna, terkait Ori...