2. Posesif?

1.5K 141 27
                                    

Silakan tarik napas panjang sebelum membaca

***

Tatapan Zayn dan Ian saling beradu. Kedua cowok itu memasang wajah datar. Zarah yang duduk di samping Zayn jadi merasa canggung. Hawa di sekitarnya panas, menguarkan aura mencekam.

Tidak seperti Kania dan Arya yang larut dalam pembicaraan orang dewasa bersama Agus. Zayn dan Ian bahkan belum pernah membuka mulutnya. Itu juga mempengaruhi Zarah untuk tetap diam.

“Nak Ian gimana sama bisnisnya? Lancar?” Kania beralih pada keponakannya.

“Baik, Tante.” Senyum tipis terulas. Ian tidak lagi melirik pada Zayn. Itu percuma. Zayn tetap akan memberinya tatapan mengintimidasi.

Di usia yang masih muda, Ian mengambil alih pekerjaan ayahnya mengurus restoran. Ian juga pandai memasak karena sering membantu para pekerjanya. Kadang-kadang dia juga belajar menjadi seorang pelayan. Ia dijuluki sebagai atasan yang rendah hati.

Tak berbeda jauh dengan Zayn. Kepribadiannya yang hangat membuat karyawan merasa tenang. Dia jarang mengekspresikan kemarahannya, terkecuali kepada Ian. Satu-satunya orang yang pernah melihat Zayn menarik urat adalah Ian.

“Ian pernah kepikiran buat nikah muda nggak?” Kali ini Arya yang memberi pertanyaan.

Ian melirik Zarah sekejap. “Aku maunya nikah di usia dua puluh ke atas, Om. Yang mendekati tiga puluh. Soalnya … kalau nikah muda aku nggak yakin bisa.”

“Tapi kamu udah punya pacar, kan?”

Ian menggaruk tengkuknya. “Belum punya, Om.”

Arya tertawa. Di masa muda dulu Arya banyak memacari gadis di sekolahnya, dia mempunyai banyak mantan. Sampai-sampai dia pernah mendapat gelar seorang playboy. Arya ketika remaja cukup nakal.

“Kamu sama aja kayak Zayn.” Arya mengelus rambut anaknya. “Nggak mau pacaran, katanya mau ngurusin Zarah aja. Kalian berdua gimana, sih? Cakepnya nggak dimanfaatin, kalian semua itu berkharisma, lho.”

“Pa, di mata aku belum ada yang secantik Zarah, belum ada yang sebaik Zarah. Jadinya aku nggak mau pacaran dulu. Nggak penting juga.” Zayn melingkarkan lengannya di leher Zarah, perbuatan itu menimbulkan gerah hati pada seorang cowok yang jadi rivalnya.

“Kalau Ian kenapa nggak cari pacar?” tanya Kania penasaran.

“Selain ngembangin bisnis, aku juga lagi mau perjuangin cewek yang aku suka, Tante. Dia susah banget buat diraih.”

Mendengar itu, Zayn makin mengeratkan pelukannya. Zayn cukup cerdik membaca gerak-gerik Ian yang selalu melirik adiknya. Dia tidak suka itu, siapa pun orangnya. Zarah adalah miliknya.

“Eh? Kamu suka seseorang?” Agus mengernyit. “Kenapa nggak pernah cerita sama Ayah? Siapa tahu Ayah bisa bantu.”

“Gimana mau cerita kalau setiap hari Ayah itu sibuk mesra-mesraan sama Ibu?” Ian meraih jus di depannya. “Lagian aku belum kepikiran buat lamar dia, Yah.”

“Emang dia siapa, Bang?” Zarah mengerjap polos, tangan kanannya digenggam erat oleh Zayn.

“Ada deh, pokoknya dia itu cantik, pinter juga.” Ian mengerling ke arah Zayn. Sengaja tersenyum miring.

Zayn berdeham keras. Makin lama suasana hatinya jadi tidak keruan. Zayn muak melihat Ian yang seakan menantangnya. Dia jadi ikut terpancing.

“Dek, kita ke kamar sebentar, yuk. Abang mau kasih lihat sesuatu.” Zayn sudah berdiri. Kesabarannya tidak bisa ditahan lagi.

Let Go [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang