Baylor, Bimo, dan Dewi mereka tengah makan malam bersama di meja makan. Hanya suara dentingan sendok dan garpu yang mengisi ruangan ini. Mereka yang punya suara, tidak berniat berkata. Apalagi Baylor, jika tidak dipaksa oleh papahnya maka ia tidak akan ada di sini.
Baylor melahap suapan kesekiannya yang terasa hambar. Ia melirik Dewi yang juga menatap ke arahnya.
"Kenapa, sayang?" tanya Dewi dengan mudah membaca keresahan putranya.
"Hambar, tapi sebagian lagi asin," komentar Baylor yang sebenarnya ragu untuk dilontarkan. Lelaki itu meminta Dewi untuk merasakan telur dadar dari piringnya. Karena Bimo dan Dewi sama sekali tidak menyentuh makanan tersebut.
Benar, Dewi menelan saliva kasar. Kemudian, buru-buru meraih segelas air kosong di sekitarnya. "Kenapa kamu gak bilang daritadi, Bay? Kalau gitu kan bisa kamu buang dan ganti lauk yang lain," ujar Dewi merasa bersalah.
Sementara itu Bimo geleng-geleng, "Ya ampun, Mah. Nanti papah cari kursus masak deh."
Dewi menggeleng cepat. "Enggak, Pah. Mamah gak mau!" tolak wanita itu.
Baylor beranjak untuk meraih minuman dingin di kulkas. Kepergian singkat anaknya itu membuat Dewi menunduk, lagi dan lagi merasa gagal menjadi seorang ibu bagi Baylor.
Sejenak, ia termenung di dapur. Bayangan akan sosok Bi Tuti yang sedang memasak seketika menguasai pikiran lelaki itu. Ia rindu dan ingin segera bertemu. Kalau begini keadaannya, dari dulu Baylor harusnya lebih menghargai pertemuan.
"Cepet sembuh, Bi," harapnya diikuti telapak tangan yang mengusap ke wajah.
Kembali pada niat awalnya, ia pun membuka kulkas dan meraih satu botol air dingin. Tidak jauh dari situ, ia mengambil gelas bersih untuk dibawa ke meja makan.
Sebelum berbalik, Baylor mengulur waktu dengan mencuci tangan. Baylor anggap makannya sudah selesai.
Bersamaan dengan itu, Dewi yang meletakkan ponsel di atas meja itu kini berusaha mengangkatnya. Ketika ada panggilan masuk dari Bi Tuti. Tumben, batin Dewi. Namun, berusaha berpikir posistif dengan tetap mengangkat telepon tersebut.
[....]
"APA?! Innalillahiwainalillahirajiun...."
Tuttt ... tutt....
Dewi masih tidak percaya dengan apa yang beberapa detik wanita itu dengar. Bimo berusaha menenangkan sembari mengelus-ngelus bahu istrinya dari samping.
Baylor yang datang sirat akan pertanyaan dari bola matanya.
"Bi--Bi Tuti," ucap Dewi terbata-bata dengan tatapan mata yang kosong.
"BI TUTI KENAPA, MAH?" desak Baylor tidak sabar.
"Me--meninggal, sore tadi." Meskipun suara Dewi sangat pelan, Baylor bisa mendengar di posisinya itu.
Tubuhnya bergetar hebat, bahkan sebatas mengucap kalimat istirja' saja Baylor tak mampu. Bimo menenangkan mereka, mempersatukan anak dan istirinya di dalam rangkulannya dari belakang. Memberi ketegaran dari aura seorang ayah, tidak mempan.
Baylor tetap menangis, air mata mengalir di pipi lelaki itu. Berbaur dalam tangis Dewi yang sudah lebih dulu keluar.
"Besok, kita semua ke sana."
***
Baylor sudah siap dengan ransel punggung andalannya jika pergi ke mana-mana. Ia menggendongnya di punggung kemudian menutup pintu kamar.
Dengan langkah gontai ia menuruni anak tangga. Semalaman menangis dan tidak bisa tidur, membuat kepalanya pening bukan main. Akan tetapi, ia mencoba mengusir rasa peningnya itu untuk tetap ikut ke kampung Bi Tuti yang berada di tanah Sunda.
KAMU SEDANG MEMBACA
Baylor [Completed]
Подростковая литератураBEST RANK : #3 literasiindonesia 21 Juni 2020 #1 literasiindonesia 6 Juli 2020 Baylor itu enggak bakal main-main kalau ada orang yang berani ngusik kehidupannya. Dia itu sosok yang susah ditebak, bahkan dirinya sendiri juga masih bingung. Sama bing...