Tubuh kecil itu berbaring terlentang menghadap langit-langit kamarnya. Cahaya minim hanya dari lampu-lampu kecil yang digantung dekat jendela, juga lagu yang berputar membuat suasana menjadi nyaman.
Ia mulai berpikir, tentang Ethel.
Usia cowok itu sudah cukup matang, suatu saat ia akan bertemu kekasihnya, berpacaran dan kemudian menikah. Sekiranya begitu yang Aris baca di novel-novel dan buku-buku bacaan.
Pada suatu hari nanti Ethel akan sibuk dengan pasangannya, dan mungkin jarang bertemu atau ada untuk Aris. Tak ada kemungkinan yang menutup pemikiran tersebut. Ia tidak bisa tetap baik-baik saja dengan adanya fakta demikian.
Ethelnya, sumber semangatnya, akan tidak lagi menjadikannya prioritas. Ah, sekarang saja Aris tidak tau apakah lelaki itu menjadikannya prioritas atau tidak.
Daripada berlarut-larut pada pikirannya yang tak menentu, Aris kemudian meraih ponselnya dan menghubungkannya ke speaker. Ia menyetel sebuah lagu, penyanyi kesukaannya, Sheila On 7.
Lagu berjudul Sayap Pelindungmu itu menggema memenuhi kamarnya. Seperti itulah kegiatannya sehari-hari. Hanya berbaring dan berbaring. Ia juga ingin melompat kesana kemari, kayang, atau guling-guling kesana kemari di lantai karena bosan seperti teman-temannya yang lain, Acha misalnya. Tapi sayang, Aris hanya bisa berguling di kasur, sebab berguling di lantai membuatnya demam dua hari.
"Ris?"
"Hm."
Hanya deheman tak bersemangat yang menjawab panggilan tersebut. Ayahnya, pastilah akan menanyakan pertanyaan-pertanyaan klasik seperti biasanya.
"Lagi apa, Ris?"
"Berbaring."
Pria separuh baya itu menghela napasnya. Ia akan berbicara pada putri semata wayangnya ini nanti saja saat jam makan malam. Sebab sepertinya perempuan itu sedang tak ingin diganggu.
Pintu tertutup, dan Aris menghela napasnya. Ia bangkit, terdiam sejenak sebab kepalanya yang terasa berputar-putar dan pandangannya yang mengabur. Ah, sudah biasa. Ia memiliki tekanan darah yang rendah.
Setelah membaik, ia meraih ponselnya dan mengikat rambutnya. Kakinya melangkah keluar kamar, ke arah ruang tengah yang sepi, hanya ada ibunya yang sedang merajut disana. Sepi, semenjak tak ada Ares yang akan mengerjai Aris habis-habisan itu.
"Lho, Ris? Tumben bangun. Mau makan dulu, nggak?"
Aris terdiam sejenak, kemudian duduk di atas karpet dan menyandarkan tubuhnya ke sofa, tepat di sebelah ibunya yang sedang merajut. Wanita itu menatap putrinya, mengelus rambut halus gadis satu itu.
"Kamu bosen? Mau bantu Mama merajut?"
"Nggak, Ma."
Tubuh mungil itu bangkit lagi, menuju sebuah ruangan yang tak jauh dari ruang tengah, sedikit di ujung. Terdapat poster penyanyi kesukaannya, Fiersa Besari, yang cukup besar, dengan tulisan yang ditulis dengan sesuatu yang Aris yakin adalah lipstik Mamanya, bertuliskan nama Ares.
Ruangan itu hening. Tak berpenghuni. Aris masuk ke dalamnya, menyalakan pendingin ruangan dan mengambil speaker warna hitam yang kadang-kadang ia gunakan. Ia memutar lagu kesukaan ia dan kakaknya itu, April.
Ia mendudukan diri di pinggir kasur. Ruangan itu masih rapi. Seolah menunggu pemiliknya pulang sehabis les atau sehabis bermain basket. Hanya saja, pemiliknya tak pernah pulang kembali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Puzzle Piece
Romance❝ Suatu hari di antara bisingnya ibu kota, di sebuah tempat nyaman kesukaan keduanya. Perempuan itu meletakkan potongan puzzle yang terakhir, begitu pas, melengkapi puzzle yang sedang mereka kerjakan menjadi sempurna. Lelaki itu tersenyum, detik itu...