Pagi hari. Seharusnya mentari cerah sudah melongokkan diri, namun awan kelabu menyedihkan sudah lebih dulu menggantung di atas sana. Langit tampak suram. Dersik angin semakin mengusik, menggoyangkan dedaunan di depan teras kamar. Membuat pagi semakin jauh dari kehangatan.
Aku menyesap kopi panas di dalam mug putih retak milikku, berusaha menikmati pagi yang sedang dibalut kemuraman. Riuh suara furin yang kupasang di jendela kamar memenuhi indera pendengar. Berisik, namun menenangkan. Kusesap sekali lagi kopi panas yang masih mengepulkan asap. Tanpa gula dan krimer. Pahit. Seperti hidupku. Seperti raut wajahku saat ini.
Rasanya aku ingin berteriak sekarang, namun urung karena takut menerima lemparan wajan dari tetanggga. Kalau bukan karena resiko menakutkan itu, kupastikan pagi ini komplek perumahanku sudah dipenuhi oleh teriakan menggelegar milik gadis menyedihkan. Tak tertahan, akhirnya kuputuskan untuk menghela napas panjang. Tak banyak berefek, namun setidaknya bisa sedikit mengurangi gumpalan menyesakkan di dada. Bernapas saja rasanya sangat menyakitkan, kenapa aku masih tertarik hidup?
Kuletakkan mug putih retak di atas meja kayu. Menatap nyalang rumput panjang di depan teras kamar, aku mulai menyusun kalimat-kalimat tak penting di dalam kepalaku—yang kuyakini sebagai wujud pemberontakan diri yang tak pernah sempat kudemonstrasikan. Seperti biasa, berdistraksi selalu menjadi harsa tersendiri bagiku. Layaknya candu di tengah nestapa hidup.
Ingatanku merangkak menuju dua hari lalu. Saat dimana aku mulai merasa Semesta semakin membenciku. Ketika itu jumat siang, aku memutuskan untuk buru-buru pulang meninggalkan sekolah demi menghindari sapaan dari teman sekelas—yang kuyakin akan berakhir memuakkan ke pertanyaan-pertanyaan yang mengoyak harga diriku. Pembagian hasil ulangan, betapa aku sangat membenci istilah itu. Hari dimana suara-suara menyebalkan senantiasa mengudara di sekitarku.
"Nilai ulanganmu berapa?" "Nilaiku tuntas." "Aku sudah belajar mati-matian, tapi cuma bisa dapat 85." "Masih mending, aku cuma dapat 80." "Aku lihat ada yang dapat 95." "Eh, katanya ada yang enggak tuntas loh!"
Persetan! Aku berjalan cepat meninggalkan kelas sambil menulikan telinga. Kuayunkan langkah menuju parkiran sekolah dengan wajah tertekuk dan kepala bergemul asap. Kuhidupkan motor dengan terburu-buru, lalu pergi melesat meninggalkan gerbang sekolah, membelah jalanan kota.
Dadaku bergemuruh sesak. Berdenyit menyakitkan mengumpul satu persatu makian tak kasat mata yang menghujam kepala. Membuat setengah dari kewarasanku menguap hingga berhasrat menabrakkan diri ke pohon Spathodea yang menjulang menemani jalan. Jatuh memburai membasuh jalanan, lalu tidur nyenyak untuk selamanya. Namun tidak, kutelan kembali hasrat tak bertanggung jawab itu dan memilih untuk mempercepat laju kendaraan. Persetan dengan lalu lintas, jiwaku lebih membutuhkan pelampiasan saat ini.
Kukira aku sudah berhenti menjadi gadis cengeng sejak bertahun-tahun lalu, namun nyatanya cairan asin itu kembali membasuh pipi tirusku yang telah lama kering ditampar cemoohan ibu. Menjadikannya lengket diterpa angin jalanan.
Aku menggigit bibir, terisak di balik kaca helm yang gelap. Memangnya kenapa kalau nilaiku tak pernah meningkat? Memangnya kenapa kalau aku tak pernah masuk ke dalam jajaran siswa berprestasi di sekolah? Memangnya kenapa kalau aku bodoh? Kusemburkan pertanyaan itu di kepalaku sendiri, tanpa berminat untuk mencari jawaban.
Aku sudah lama muak dengan paradigma yang melekat pada kepala-kepala kolot orang di sekitarku. Yang menilai kecerdasan hanya bermuara pada kemampuan memainkan angka dan mencacah rumus. Lalu mencemooh siapa saja yang melenceng dari lingkaran keberhasilan yang telah mereka gariskan.
Aku salah satu contoh konkret dari kegagalan yang mereka asumsi. Pemalas, tidak pernah serius, cuma tahu main saja, menyusahkan orangtua, tak bisa dibanggakan. Sindiran dimuntahkan satu persatu dari mulut moncong berbau busuk mereka. Mencibir tak suka kala melihatku pulang dengan wajah lesu sehabis berperang dengan harga diri yang kian merosot. Mereka yang selalu menghakimi hanya dengan melihat permukaan berupa hasil, tanpa pernah tahu proses apa yang telah kulalui. Tanpa pernah mengerti bagaimana aku menghabiskan bertahun hidupku untuk duduk sepanjang hari di kursi keras mendengar ocehan guru, bolak balik ke tempat bimbel, lalu pulang dengan wajah kusut untuk menelan teori dan rumus-rumus pahit sepanjang malam sampai terbawa mimpi. Mereka tak pernah tahu, dan tak akan pernah mau tahu. Bagi mereka hasil adalah penentu. Nilaimu memuaskan? Tidak? Berarti kamu tidak benar-benar berusaha.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fragile
Short StoryApa yang lebih rapuh dari sebuah cermin di sudut kamar? Kuberitahu padamu, itu adalah jiwa-jiwa yang senantiasa menyusut kala asa direnggut. Jiwaku, jiwamu, jiwa mereka.