James mengusap netranya sendiri dengan sedikit gelisah kala bunyi dari ponselnya terus-terusan memaksa James untuk bangun. Pria itu akhirnya memilih untuk mengecek siapa yang menghubunginya pagi-pagi sekali.
Dan betapa terkejutnya James ketika mendapati nomor Arlington kemarin yang menghubunginya-terbukti dari James yang langsung melompat bangun-seolah rasa kantuk tak lagi menyelimutinya.
"Halo... halo, maaf aku masih tertidur tadi," ujar James sedikit gugup takut-takut Arlington mencecarnya.
"Apa kau ingin berbicara dengan Abbey?" Arlington terang-terangan mengungkapkan keinginannya untuk berbicara dengan Abbey. James memberikan ponsel itu kepada Abbey yang sedang duduk di meja makan pagi-pagi sekali.
"Abbey, ada yang mencarimu." Dahi Abbey berkerut, siapa yang menghubungi Abbey pagi-pagi seperti ini? Jika memang ada kepentingan pribadi seharusnya orang itu menghubungi Abbey bukan managernya.
Mau tidak mau, Abbey tetap menerima sambungan telfon tersebut.
"Halo? Abbey di sini," Abbey sedang memakan pasta yang ada di depannya.
"Abbey, ini aku." Tepat setelah mendengar itu, Abbey langsung kembali mengeluarkan pastanya. Ia bahkan hampir tersedak, beruntung James dengan cepat memberikannya air.
Bukannya menjawab, Abbey lebih memilih untuk bangkit dan membawa ponselnya ke dalam kamarnya sendiri. Ia menekan tombol video call sehingga ia bisa melihat wajah Arlington dengan jelas.
"Arlington," panggil Abbey dengan suara sedikit gelisah ketika melihat wajah pria itu, ia sangat merindukan Arlington dan ingin mendekap pria itu. "Kenapa kamu baru menghubungiku! dan nomor siapa ini? Kenapa kamu menghubungi James dan bukan aku?" tanya Abbey beruntut.
Arlington tertawa dari sebrang sana, "Bagaimana dengan kabarmu? aku baik-baik saja." jawab Arlington, tidak menjawab pertanyaan Abbey.
Seperkian detik kemudian Abbey menangis, entah karena melihat wajah Arlington atau karena Arlington tidak menjawabnya. Mendapati Abbey menangis membuat Arlington heran karena ini pertama kalinya Abbey menangis secara terang-terangan.
"Apa aku melakukan sesuatu yang salah? Kenapa kamu menangis?"
"Kamu sudah melupakan aku!" rutuk Abbey dengan tangis yang semakin kencang. "Aku tidak mau pulang lagi ke Inggris! Biar seperti ini saja, kamu pasti lebih menyukai pekerjaanmu dibanding aku."
"Tidak Abbey, dengarkan aku," Arlington berusaha menenangkan Abbey, "Aku menyayangimu tetapi untuk sekarang kita harus seperti ini demi keselamatanmu. Aku tidak mau ada yang melukaimu."
"Kamu menyayangiku?" Abbey mengusap matanya sesegukan.
Arlington mengangguk. "Tunggu aku pulang dan kita bisa berkumpul lagi, aku akan menyekapmu seharian di dalam kamar. Tetapi kamu harus mendengarkanku," lanjut Arlington, membuat Abbey bertanya tentang syarat yang pria itu ajukkan. "Jangan menghubungiku duluan dengan alasan apa pun, biar aku yang akan menghubungimu lebih dulu."
"Kenapa?"
"Tidak perlu tau. Kedua, jangan beri tahu siapa pun termasuk aku tentang dimana kau berada."
"Aku di Amsterdam."
"Aku bilang jangan beritahu siapa pun Abbey." Arlington menggeleng gemas, jika mereka tidak terhalang oleh layar ponsel mungkin ia sudah mencubit wajah Abbey yang memerah dengan mata yang sedikit sembab.
KAMU SEDANG MEMBACA
Reasons
Romance[COMPLETED] Tak pernah terlibat skandal bersama perempuan merupakan reputasi besar yang Arlington pegang hingga sekarang. Kehidupannya yang tampak sempurna sukses membuat Abbey rela menyerahkan diri secara sukarela kepadanya. Arlington pun berhasil...