chapter thirteen

49 7 0
                                    

Dua minggu lagi, kuis antarkelas diadakan. Nadin menjadi salah satu kandidat yang mewakili kelas sepuluh IPS dua. Entah apa yang ada di pikiran wali kelasnya sampai-sampai mengajukan gadis itu ikut serta dalam lomba adu kepintaran yang sama sekali tidak dikuasainya tersebut.

Tapi ... demi kelas, Nadin rela membanting tubuhnya untuk belajar dari sore sampai subuh. Rela membuka banyak buku pengetahuan umum, menulis banyak sekali rangkuman yang dibuat agar tidak membosankan, bahkan di sela-sela jam makannya pun Nadin sempatkan untuk menghafal. Apalagi, dengan bimbingan Aksa, Nadin semakin yakin jika ia bisa meraih peringkat pertama. Doakan Nadin, ya!

Sore ini, sebetulnya Nadin sudah tidak terikat apa-apa lagi dengan Aksa. Kontrak lesnya sudah berakhir tiga minggu yang lalu, namun mendengar bulan depan sekolah akan mengadakan kuis antarkelas bagi siswa-siswi kelas sepuluh, Aksa menawari untuk membatu gadis itu. Tentu dengan wajah yang berseri-seri, Nadin menyetujuinya.

Jam dinding yang berdetak lambat menjadi saksi bagaimana otak gadis itu serasa terbakar. Menghafal atau menghitung sama sekali bukan bakatnya. Nadin bahkan tidak tahu sebenarnya bidang apa yang betul-betul dikuasai oleh dirinya.

Sampai lautan angkasa memerah pun, mereka belum juga beranjak dari kursi perpustakaan. Sampai-sampai sang penjaga harus mengingatkan mereka bahwa perpustakaan sekolah akan segera tutup. Dengan buku-buku tebal di dekapannya, Nadin dan Aksa keluar dan memilih untuk pergi ke rooftop setelah meminta izin dengan penjaga sekolah.

"Jangan keras-keras sama diri lo sendiri, Nad." tegur Aksa melihat Nadin yang rakus melahap buku-buku pelajaran itu.

"Ya gimana, Kak? Kalo nggak keras ya gue nggak bakal bisa hafalin ini semua."

Embusan napas mengudara bersama oksigen yang dihasilkan bumi. Aksa menatap gadis itu dalam diam. Percuma juga menegur Nadin, ia akan tetap melakukan apapun yang ia mau. Sudah berapa kali Aksa mengingatkan agar gadis itu jangan terlalu rakus melahap buku? Berulang kali pula Nadin menyerah perkataannya.

Tapi melihat semangat dan kepolosan gadis itu ... Aksa tersenyum, menyadari kebaikan semesta karena telah menghadirkan cewek itu sebagai pelipur pilu dibalik kehancuran keluarganya. Mengusir sepi yang sesekali menyeruak ke dalam memorinya. Menarik sudut bibirnya untuk tersenyum lebih lebar, tertawa lebih lepas.

Di tengah-tengah bibirnya yang sibuk melafalkan berbagai macam materi, Nadin mengingat sesuatu. Ia harus membeli notebook baru untuk menampung rangkuman materinya dan beberapa buku pengetahuan umum lagi. Segera ia mengemasi barang-barangnya dan menarik lengan Aksa untuk cepat-cepat pergi ke toko buku.

Mereka disambut oleh alunan melodi yang mengudara di toko buku itu, juga dinginnya air conditioner yang mengusir sejenak hawa panas yang sejak tadi menyergap. Mereka larut dalam buku-buku dan berdiam di balik rak buku.

Dua anak manusia itu berpencar. Aksa yang melengang di rak berisi novel, dan Nadin yang serius mencari buku pengetahuan umum. Masing-masing kategori terdapat tiga rak, dan mereka terpisah oleh satu rak buku novel.

Dari sela-sela buku yang renggang, mata Aksa menilik si gadis yang tidak melepaskan netranya dari buku-buku di depannya. Sesekali tangannya mengambil salah satu buku yang tidak disegel dan membuka satu persatu halaman. Memeriksa isinya.

Tanpa sadar, bibirnya melengkung ke atas. Garis-garis halus di sekitar matanya sampai terlihat. Aksa tidak pernah sebahagia ini, dirinya tidak pernah setenang ini sebelumnya. Entah kenapa, setiap hari ketakutan-ketakutan tak bernama itu selalu menghantuinya. Rasa-rasa mengganjal di lubuk hatinya tidak kenal waktu dalam menghampiri. Aksa terjebak di penjara ketakutannya sendiri.

Maniknya masih terpaku bersamaan dengan Nadin yang menoleh. Mungkin instingnya kuat, merasa ada seseorang yang menatapnya diam-diam. Dengan sekali sergapan, Aksa mengambil salah satu novel dan membacanya—dengan terbalik.

Nadin menahan tawanya yang akan melepas. Ia menghampiri cowok itu dan menepuk-nepuk lengannya.

"Kenapa?" tanya Aksa. Menurunkan sedikit novel yang dibacanya—hanya pura-pura.

"Lo baca novel kebalik?"

Aksa menyadari kebodohannya dan tersenyum kikuk. Gigi-gigi rapi tampak dipamerkan Nadin dalam gelak tawanya. Menyisakan seberkas kehangatan di dalam benak Aksa, kehangatan yang menyeruak di bawah dinginnya air conditioner petang itu.

.
.
.

"Berusaha itu perlu, tapi kesehatan jangan dilupain." wejangan dari Aksa mengudara bersama uap panas dari semangkuk bakso cuanki yang dibelinya di depan toko buku selepas mereka keluar.

Tangannya terasa hangat di tengah-tengah udara malam yang dingin di ibu kota. Sweater yang membalut tubuh gadis itu juga turut mengambil peran dalam menghangatkan raga puannya.

Nadin menatap mangkuk panas berisi bulatan-bulatan daging halus itu dalam senyum, netranya kemudian beralih pada Aksa yang sudah lebih dulu menyantap makanannya. Ia mengucap terima kasih yang dibalut selendang ketulusan.

Aksa hanya tersenyum tipis menanggapi hal itu. Hangatnya semangkuk bakso, beradu dengan dinginnya malam kota Jakarta, juga dengan pendar-pendar lampu kendaraan yang saling menyorot. []

tolong koreksi ejaan saya semisal ada yang salah, sankyou 🌙
xoxo,

kata

H I D D E NTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang